Mohon tunggu...
Jovan Nugroho
Jovan Nugroho Mohon Tunggu... Pelajar

Selalu bahagia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hukum Tumpul di Negeri Hantu

19 September 2025   07:30 Diperbarui: 19 September 2025   07:30 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Krisis moral di kalangan para pemimpin menimbulkan ketidakadilan dalam penegakan hukum, yang mengakibatkan ketidakpercayaan di tengah masyarakat.

F. Rahardi dalam artikelnya, "Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu," membongkar sebuah ironi dalam bangsa ini. Tulisan tersebut bukan sekadar kritik biasa, melainkan sebuah sindiran tajam. Penulis secara kreatif menggunakan analogi fobia ulat bulu untuk menggambarkan kecenderungan irasional bangsa ini dalam menghadapi masalah. Fobia tersebut menjelaskan ketakutan terhadap serangga kecil yang berkembang menjadi ketakutan sosial dan politik yang mendarah daging. Fobia ini hadir dalam ketakutan para pemimpin akan kehilangan jabatan dan ketidakberanian masyarakat dalam menyuarakan kebenaran.

Ironisnya, persoalan besar seperti kekacauan politik, perusakan lingkungan, dan krisis ekonomi justru dianggap remeh. Penulis menyebutnya sebagai dagelan atau lelucon. Ketika seorang anggota parlemen tertangkap basah menonton pornografi saat sidang, hal itu sesungguhnya adalah tragedi moral, bukan lelucon. Hal tersebut mencerminkan kegagalan dalam membedakan antara hal serius dan candaan. Sebutan "negeri hantu" menggambarkan sebuah bangsa yang diliputi ketidakjelasan, ketakutan, dan ilusi. Kita hidup dalam kabut yang sengaja diciptakan, di mana masalah inti tidak pernah terselesaikan, hanya berpindah wujud menjadi "hantu" lain yang menakutkan. Fobia irasional ini menghambat kemajuan. Jika kita terus menghindari permasalahan sesungguhnya dan sibuk dengan drama politik, bangsa kita akan semakin terancam oleh para fobia ini.

Editorial Tempo, "Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal," menjadi bukti nyata bagaimana sistem hukum dapat menjadi sebuah pertunjukan teater. Kasus yang seharusnya mudah diselesaikan, dengan bukti dan saksi melimpah, justru dibuat berlarut-larut. Kita memiliki data lapangan dan kesaksian melimpah, tetapi proses hukumnya tetap lama dan penuh ketidakjelasan. Hal tersebut menjadi indikasi bahwa ada kepentingan lain di balik kasus tersebut.

Istilah sandiwara menggambarkan situasi tersebut. Proses hukum seolah hanya pertunjukan di mana semua pihak memainkan peran masing-masing, tetapi tanpa niat sungguh-sungguh untuk mencari keadilan. Pihak yang seharusnya menjadi penegak hukum, dari Kementerian Kelautan dan Perikanan hingga Polri, justru berusaha untuk melindungi para pelaku dan memunculkan kebingungan yang menutupi para pelaku sesungguhnya. Ini adalah contoh nyata bagaimana hukum hanya sebuah permainan bagi mereka yang berkuasa.

Hal tersebut tidak terlepas dari matinya etika dan sumpah jabatan, seperti yang disoroti oleh Budiman Tanuredjo dalam "Ketika Sumpah dan Etika hanya Menjadi Teks Mati." Para pejabat seakan lupa akan janji mereka, menjadikan etika dan moralitas hanya sebagai teks tanpa makna. Keteladanan yang seharusnya menjadi sikap dasar kepemimpinan kini memudar. Bangsa ini telah kehilangan sosok-sosok yang mampu dan berani menegakkan kebenaran. Kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan sistem hukum pun semakin memudar. Tuntutan-tuntutan Reformasi 1998 yang berfokus pada keadilan, keteladanan, dan penegakan hukum justru terabaikan.

Masalah yang dibahas dalam ketiga artikel tersebut bukan masalah yang berdiri sendiri, melainkan sebuah rantai yang panjang dan menciptakan kegagalan sistemik.

Masalah yang dibahas dalam ketiga artikel tersebut bukan masalah yang berdiri sendiri, melainkan sebuah rantai yang panjang dan menciptakan kegagalan sistemik.

Masyarakat dan para pemimpin terlalu sibuk dengan drama politik dan hal-hal sepele. Mereka membiarkan masalah penting yang semakin lama merusak bangsa. Hal tersebut membuat para penjahat dan koruptor tetap bisa bersembunyi di balik kegagalan hukum.

Ketika para pemimpin bangsa kehilangan integritas, hukum menjadi tidak berguna. Sumpah jabatan menjadi sebuah formalitas. Mereka tidak lagi merasa terikat pada tugas mulia untuk melayani rakyat. Mereka memilih untuk melindungi kepentingan pribadi. Hukum yang seharusnya menjadi "menara keadilan" telah berubah menjadi alat untuk mempermainkan dan melindungi mereka yang berkuasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun