Orang-orang yang datang untuk "mengajar" kita tak selalu hadir dalam wujud guru bijak. Kadang mereka datang sebagai ujian---dalam bentuk konflik, pengkhianatan, bahkan pengabaian.Â
Namun dari mereka, kita belajar mengenali batas, memahami nilai, dan menyadari apa yang sungguh-sungguh penting.Â
Kita belajar tentang kesabaran, pengampunan, serta kemampuan untuk bertahan dan melepaskan. Dalam proses itu, kita dipaksa untuk bercermin dan bertanya: siapa diri kita sebenarnya ketika sedang terluka? Apa yang kita yakini, pertahankan, dan pilih untuk tinggalkan?
Sebaliknya, ada pula yang datang untuk belajar dari kita. Mereka adalah cermin yang mengingatkan kita bahwa dalam hidup, kita tidak hanya bertanggung jawab atas diri sendiri, tetapi juga atas bagaimana kita memengaruhi orang lain.Â
Relasi bukan ajang untuk mendominasi, tapi kesempatan untuk tumbuh bersama. Kita menjadi tempat berteduh, tempat bertanya, tempat kembali.Â
Dan seperti halnya mereka yang pernah mengajari kita melalui luka, kini kita diberi giliran untuk menjadi pengajar---dengan kasih, pengertian, dan ketulusan.
Hidup tidak selalu tentang siapa yang akan tinggal selamanya. Justru dalam kefanaan itulah letak keindahan. Pertemuan---meski singkat---bisa meninggalkan jejak yang mendalam. Kita semua, pada dasarnya, saling merawat luka dan cahaya satu sama lain.
Kita hadir untuk saling menyentuh kehidupan, entah secara sadar atau tidak. Maka, layaknya seorang peziarah yang bijak, kita perlu menyambut setiap perjumpaan dengan hati terbuka.Â
Tak perlu menghakimi, cukup hayati. Karena mungkin hari ini kita adalah murid, besok kita yang menjadi guru.
Kehidupan manusia tidak terlepas dari dinamika relasi. Di sinilah tempat di mana nilai-nilai kemanusiaan diuji dan dimurnikan. Saat kita merasa terluka, jangan buru-buru menutup pintu. Bisa jadi itu adalah fase penting dalam pertumbuhan batin kita.Â
Saat merasa kecewa, jangan serta-merta menghakimi. Bisa jadi itu adalah undangan untuk memahami dengan lebih dalam, melihat dari sudut pandang yang berbeda.