Mohon tunggu...
Joshua
Joshua Mohon Tunggu... Konsultan - Akun arsip

Akun ini diarsipkan. Baca tulisan terbaru Joshua di https://www.kompasiana.com/klikjoshua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jadi Kompasianer karena Terinspirasi Jakob Oetama

9 September 2020   17:53 Diperbarui: 9 September 2020   18:01 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jakob Oetama (Sumber gambar: Pikiran Rakyat)

Karena saya datang di tempat acara lebih awal, saya sempat bertemu dengan Pak JO sebelum masuk ruangan. Sayalah yang memberi salam padanya lebih dulu. Ia bertanya nama saya dan tersenyum sumringa saat menjabat tangan saya. Sayangnya momen tersebut tidak sempat saya abadikan mengingat saya memiliki gawai yang mengalami galat saat itu. Hingga kemudian beliau masuk bersama dengan tamu VVIP lainnya, termasuk ayah asuh saya saat itu yang sekaligus Ketua DPR RI, Marzuki Alie.

Ditahun yang sama, Pak JO meluncurkan biografinya yang ditulis oleh St. Sularto dengan judul Syukur Tiada Akhir. Meski belum pernah membaca bukunya, dari kiprahnya di dunia pers, setidaknya saya bisa mengambil beberapa poin positif yang sering dibagikan beberapa karyawan Kompas Gramedia yang berteman dengan saya. Ada juga cerita menarik dari beberapa diantara mereka yang pernah bertemu secara langsung dan mengobrol bersama Pak JO. Dari cerita mereka semua, saya kemudian pernah punya cita-cita bergabung menjadi jurnalis di Kompas Gramedia, terkhusus di Kompas TV, meskipun jalan karir saya kini berlainan dengan cita-cita saya dahulu.

Tercermin dari produk jurnalistiknya, Pak JO terkesan "menuhankan" kemanusiaan. Hal ini terbukti dengan tidak adanya gambar yang menjijikkan dan perlu disensor, seperti memar dan cipratan darah atau semacamnya. Selain itu, gambar kerusuhan pun juga tidak pernah nampak dari visual Harian Kompas selama puluhan tahun saya membacanya. Bagi Pak JO, hanya satu hal yang bisa mempersatukan manusia selain oleh karena agama dan ideologi, yaitu rasa kemanusiaan yang kuat. Memang terbukti, kepedulian dan empati kepada sesama manusia tidak mengenal batasnya.

Kita masih punya banyak tokoh pers yang prominent dalam berkarya namun jarang terekspos, seperti Adam Malik, Tan Malaka, hingga Tirto Adi Soerjo, tapi bagi saya, saya justru merasa seperti mendapatkan spiritual connection dengan Pak JO ketika saya berbicara tentang beliau. Dari sejarah hidupnya yang bukan wartawan, melainkan bercita-cita sebagai seorang rohaniwan, jalan hidup justru mengubahnya menjadi wartawan sukses hingga memimpin lebih dari 20.000 orang karyawan dibawah manajemennya. Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, adalah semangat Pak JO dalam mengembangkan usaha penerbitannya hingga Kompas Gramedia bisa merambah bidang usaha lain secara pesat.

Jiwa kewirausahaan yang berpadu dengan semangat membela kebenaran dalam pers, membentuk karakter unik seorang Jakob Oetama, yang seharusnya bisa jadi teladan bagi kita semua, termasuk bagi anak muda yang meledak-ledak gairah hidupnya. Beliau tidak mau dipanggil pengusaha, namun hanya ingin dikenal sebagai wartawan (tanpa tambahan kata "senior" dibelakangnya meski semua tahu beliau adalah tokoh pers senior nasional).

Dalam rangkuman, saya mencatat Pak JO sebagai sosok berjiwa wirausaha, wartawan ulung, pejuang kemanusiaan, pembela kebenaran, teladan rohani, guru pengayom, atasan yang ramah terhadap bawahan, pribadi yang kreatif dan inovatif, dan adaptif terhadap kemajuan peradaban. Itulah Jakob Oetama, dengan segala atribut tersebut, yang menjadi inspirasi saya selama ini dalam menulis di Kompasiana dan menjadi Kompasianer.

Mendengar kabar beliau wafat siang tadi, hati saya sakit bagai teriris. Saya kembali kehilangan legenda hidup yang tetap mengilhami saya untuk terus menulis bagi Indonesia. Duka yang dialami Kompas Gramedia dan bangsa ini karena kehilangan sosok Pak JO, juga adalah duka saya.

Kini, tidak ada lagi sosok ramah senyum, yang halus tutur bahasanya, sang sesepuh, tokoh yang menyejarah dalam perjalanan jurnalisme Indonesia. Ia telah meninggalkan dunia demi sowan gusti, menemui tuhan yang menciptakannya, menuju hidup abadi yang telah dijanjikan baginya dengan meninggalkan semangatnya bagi kita yang masih berjuang di dunia, khususnya mereka yang membela kebenaran dalam jalan pers.

Selamat jalan, Pak JO.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun