Ekskursi selalu menawarkan cerita yang tidak hanya terekam dalam ingatan tetapi juga mengendap dalam hati. Ekskursi 2024 kali ini menjadi lebih istimewa karena membawa kami, para siswa Kolese Kanisius, ke tempat yang mungkin asing, namun sekaligus hangat dalam nilai persaudaraan dan keakraban dalam Pondok Pesantren Bismillah Terpadu di Serang, Banten. Pengalaman ini, lebih dari sekadar kunjungan, adalah perjalanan lintas agama dan budaya yang memberikan pandangan baru mengenai arti dari "Bhinneka Tunggal Ika" yang sering kita dengar namun jarang kita resapi.
Setiap momen perjumpaan menjadi pintu untuk mengenal perbedaan, yang awalnya terasa asing namun lambat laun menjadi akrab. Kami belajar bersama, berdiskusi, bahkan terlibat dalam kegiatan pesantren seperti mengaji dan istighosah. Berada di lingkungan pesantren, suasana berbeda mulai dari pakaian hingga kebiasaan sehari-hari mengajarkan kami arti menghormati keyakinan yang tidak sama dengan kita. Ini bukan sekadar pengalaman, tetapi juga pelajaran hidup.
Di hari pertama, suasana canggung menyelimuti ruang pertemuan. Kami, para siswa Kolese Kanisius yang sebagian besar beragama Katolik, bertemu dengan para santri yang sehari-hari belajar Al-Qur'an dan mendalami ajaran agama Islam. Namun, perbedaan tidak menjadi penghalang. Kami mulai mengenal satu sama lain melalui obrolan sederhana, tawa bersama, hingga akhirnya kehangatan yang mengikis segala prasangka awal. Tanpa perlu banyak kata, kami memahami bahwa esensi dari persaudaraan adalah menerima satu sama lain tanpa prasangka. Kami mulai melihat bahwa perbedaan bukanlah jurang pemisah, tetapi jembatan untuk saling memahami.
Miniatur Indonesia, itulah yang kami rasakan selama tiga hari berada di lingkungan pesantren. Di bawah bendera yang sama, kami hadir dengan identitas yang berbeda, bersatu dalam semangat persatuan dan kesatuan. Nilai Sumpah Pemuda yang kami pelajari di bangku sekolah menjadi terasa begitu nyata dalam interaksi ini. Kami adalah satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa, yang sekalipun berbeda dalam keyakinan, mampu menjalin kebersamaan.
Seperti puisi "Syukur" karya Kahlil Gibran yang menggambarkan tentang rasa syukur terhadap setiap momen kehidupan, kami mensyukuri setiap detik kebersamaan. Melalui kegiatan mengaji, belajar, dan bermain bersama, setiap interaksi yang terjadi adalah simbol persatuan dalam keberagaman. Keberagaman bukanlah sekadar konsep, melainkan kenyataan hidup yang harus kita syukuri dan pelihara.
Selama ekskursi, kami turut serta dalam kegiatan Maulid Diba yang diadakan oleh pesantren. Sebuah pengalaman yang sangat berkesan, melihat bagaimana para santri dengan khusyuk menyanyikan puji-pujian yang meresap dalam hati. Meskipun kami tidak memahami sepenuhnya, suasana itu seolah mengajak kami untuk ikut merenungi arti dari doa dan ketenangan hati. Rasa haru menyelimuti, bahwa dalam perbedaan ritual keagamaan, ada benang merah yang menyatukan: rasa cinta kepada Yang Maha Esa.
Pengalaman ini membuka mata kami, bahwa keberagaman adalah kenyataan sosial yang harus diterima dengan sepenuh hati. Persaudaraan, persahabatan, dan kebersamaan dalam keberagaman adalah hal yang perlu terus dibudayakan. Tidak hanya di lingkungan pesantren, tetapi juga di kehidupan sehari-hari sebagai bentuk penghargaan terhadap perbedaan.
Pengalaman lintas agama di pesantren telah mengajarkan kami bahwa harmoni tidak mungkin tercipta tanpa perjumpaan. Di dunia yang semakin terkoneksi secara digital, pertemuan fisik menjadi sangat berharga. Perbedaan menjadi indah ketika kita menemukan titik temu, sesuatu yang bisa menyatukan keberagaman. Sebagaimana yang dikatakan oleh Cak Nur, "Indonesia itu rumah kita semua, tempat kita hidup bersama dalam perbedaan."
Kami melihat langsung bagaimana para santri menyambut kami dengan tangan terbuka. Dari sini, kami belajar bahwa keberagaman bisa menjadi kekuatan bila kita mau saling menerima dan menghargai. Membangun keharmonisan bukan hanya tugas pemerintah atau tokoh agama, tetapi kita sebagai generasi muda juga memiliki tanggung jawab untuk memperjuangkan toleransi dan saling menghargai.
Melalui ekskursi lintas agama ini, kami belajar nilai-nilai persatuan dan toleransi yang lebih dalam daripada sekadar teori. Keberagaman bukanlah ancaman, melainkan kekayaan yang harus dijaga. Harapan kami, pengalaman ini dapat menjadi pengingat untuk generasi muda lainnya bahwa toleransi adalah fondasi penting dalam membangun bangsa yang damai dan harmonis. Toleransi bukan hanya sekadar slogan, tetapi sikap hidup yang harus terus kita perjuangkan.
Ekskursi ini tidak hanya meninggalkan jejak dalam ingatan, tetapi juga menanamkan rasa cinta kepada negeri yang kaya akan perbedaan. Jika generasi muda bisa menghargai dan merayakan perbedaan dengan hati terbuka, maka Indonesia akan terus kokoh berdiri dalam harmoni. Seperti yang dikatakan oleh Gus Dur, "Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu."Â