Mohon tunggu...
Josephine Marsya
Josephine Marsya Mohon Tunggu... Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Jember

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Financial

Maksimalisasi Pengembangan QRIS menjadi "Momok" bagi Kapitalis Global

29 April 2025   12:00 Diperbarui: 29 April 2025   11:59 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi QRIS (Sumber: Youtube Bank BRI)


QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) adalah inisiatif strategis yang merepresentasikan semangat kedaulatan digital dan finansial Indonesia. Diluncurkan pada 17 Agustus 2019 oleh Bank Indonesia bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), QRIS tak hanya menjadi alat pembayaran digital, tetapi juga simbol kebangkitan kendali nasional atas data dan transaksi keuangan masyarakat. Dirancang sebagai standar kode QR nasional, QRIS memungkinkan berbagai penyelenggara jasa sistem pembayaran beroperasi dalam satu sistem terpadu, memudahkan masyarakat dari kota besar hingga pelosok desa dalam melakukan transaksi digital.

Enam tahun setelah peluncurannya, QRIS terus menunjukkan perkembangan signifikan. Pada tahun 2025, fitur terbaru bernama QRIS Tap resmi diperkenalkan---membawa teknologi contactless ke dalam sistem pembayaran nasional. Dengan fitur ini, pengguna cukup menempelkan ponsel atau kartu di mesin pembaca untuk menyelesaikan pembayaran. Inovasi ini bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga bagian dari upaya Indonesia untuk menegaskan kedaulatan digital di tengah dominasi sistem pembayaran global berbasis platform asing.

Ilustrasi Hegemoni Kapitalis (Sumber: iStock)
Ilustrasi Hegemoni Kapitalis (Sumber: iStock)

Ketakutan Kapitalis Global
Namun, di balik kemajuan tersebut, ada kegelisahan yang dirasakan oleh para kapitalis global---terutama korporasi teknologi dan keuangan dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok. Bukan semata soal potensi hilangnya keuntungan finansial, melainkan karena QRIS secara nyata menutup akses mereka terhadap data transaksi masyarakat Indonesia. Di era digital, data adalah emas. Ketika data transaksi ratusan juta penduduk tidak lagi bisa diakses oleh platform asing, maka kontrol dan pengaruh terhadap perilaku konsumsi, preferensi pasar, hingga kecenderungan sosial-ekonomi suatu bangsa pun perlahan hilang.

Tekanan dari negara adidaya, khususnya Amerika Serikat, terhadap upaya digitalisasi berdaulat Indonesia bukanlah isapan jempol. Kebijakan lokalisasi data yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2012 pernah menjadi pijakan kuat bagi kedaulatan digital Indonesia. Dalam beleid ini, seluruh pusat data sistem elektronik strategis diwajibkan berada di wilayah Indonesia. Namun, pada tahun 2019, PP ini dicabut dan digantikan dengan PP Nomor 71 Tahun 2019 yang memperlonggar ketentuan tersebut.


Perubahan regulasi itu terjadi tak lama setelah kunjungan pejabat tinggi Amerika Serikat ke Indonesia pada Oktober 2019. Kondisi ini menjadi semakin kompleks dengan diberlakukannya US CLOUD Act oleh pemerintahan Donald Trump pada tahun 2018. Undang-undang ini mewajibkan semua perusahaan teknologi asal AS---baik Google, Microsoft, Amazon, maupun Meta---untuk menyerahkan data penggunanya kepada pemerintah AS, terlepas dari lokasi penyimpanan data tersebut. Artinya, meskipun data warga Indonesia disimpan di pusat data lokal milik perusahaan AS, pemerintah Amerika tetap memiliki hak akses mutlak atasnya.

Apakah Indonesia Menjadi Satu-Satunya Sasaran?
Indonesia bukan satu-satunya sasaran. Negara-negara berkembang lain pun mengalami tekanan serupa. Tak terkecuali dari Tiongkok, yang meskipun bersaing dengan AS, memiliki ambisi serupa dalam mengendalikan arus informasi global. Bagi dua kekuatan besar dunia ini, kontrol atas data sama pentingnya dengan kontrol atas wilayah fisik.

Dalam konteks ini, QRIS bukan hanya sistem pembayaran. Ia adalah benteng terakhir kedaulatan digital Indonesia. Pengembangannya menjadi ujian nyata: apakah Indonesia benar-benar ingin merdeka secara digital, atau justru terus menjadi ladang eksploitasi data oleh kekuatan global?

Maksimalisasi penggunaan QRIS secara menyeluruh---terutama jika digabung dengan kebijakan perlindungan data pribadi yang kuat dan penolakan terhadap tekanan asing---akan menjadi langkah revolusioner. Ia menggeser posisi Indonesia dari sekadar konsumen teknologi menjadi pelaku aktif dalam arsitektur keuangan digital dunia.

Namun, semua itu memerlukan keberanian politik dan kesadaran publik. Tanpa keduanya, QRIS bisa saja menjadi alat teknis tanpa arah strategis---dan Indonesia akan kembali menjadi pasar terbuka, bukan bangsa yang berdaulat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun