Mohon tunggu...
Joseph Hans Setiawan Iskandar
Joseph Hans Setiawan Iskandar Mohon Tunggu... Siswa SMA/Juara 2 lomba Electone Fiesta

Murid biasa

Selanjutnya

Tutup

Diary

3 Kasus Berbeda, Tetapi Mirip

14 Oktober 2025   14:30 Diperbarui: 14 Oktober 2025   14:30 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Ketika ketakutan akan ulat bulu menjadi metafora sosial yang kuat dalam artikel Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu karya F. Rahardi, kita diingatkan bahwa kerusakan di negeri ini bukan lagi sekadar soal alam dan lingkungan, melainkan juga telah menjalar pada kerusakan moral para pemimpin. Dalam artikelnya, Rahardi menulis tegas bahwa "Saat ini yang rusak bukan sekadar alam dan lingkungan, melainkan juga moralitas para pemimpin." Ini bukan sekadar opini kosong, tapi cerminan realitas yang makin nyata di hadapan kita.

Ketakutan yang muncul secara massal, menurut Rahardi, tak ubahnya cerminan dari hilangnya kepercayaan rakyat terhadap arah kepemimpinan negeri ini. Masyarakat, yang dibanjiri oleh informasi, justru merasa asing dan tak berdaya menghadapi kenyataan. Penulis dengan sangat tajam menggambarkan pengalamannya sendiri, ketika melihat kupu-kupu dan ulat bulu yang menyerang tanaman, sebagai simbol dari kekacauan yang muncul karena pembiaran dan ketidaksiapan mengelola negeri.

Kritik semacam ini bukan hal baru. Dalam editorial Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal, kita menyaksikan bagaimana pemerintah tampak bermain peran dalam skenario yang tidak lucu. Pemasangan pagar laut ilegal sepanjang lebih dari 30 kilometer bukanlah sesuatu yang bisa terjadi tanpa sepengetahuan atau keterlibatan pihak berwenang. Namun, pengusutan kasus ini justru tampak seperti sandiwara. "Penyidikan kasus ini semestinya tidak memerlukan teknik yang rumit dan bertele-tele," tulis editorial tersebut, dengan nada yang sarat frustrasi terhadap proses hukum yang lamban dan tidak tegas.

Keterlambatan dan ketidakjelasan penanganan kasus ini bukan hanya mencederai kepercayaan publik terhadap pemerintah, tetapi juga menyimpan potensi konflik sosial yang lebih besar. Penegakan hukum yang selektif dan lambat seperti ini membuat publik bertanya: siapa sebenarnya yang dilindungi oleh sistem?

Lebih dalam lagi, akar dari semua masalah ini mungkin terletak pada krisis keteladanan sebagaimana digambarkan dalam artikel Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati. Dalam artikel tersebut, disampaikan bahwa negeri ini tengah mengalami kekosongan tokoh teladan. Tokoh-tokoh seperti Bung Hatta, Agus Salim, Gus Dur, dan Buya Syafii Maarif telah tiada, dan belum ada pengganti yang mampu mengisi kekosongan moral serta kepemimpinan tersebut. "Kita kehilangan Hatta, kita kehilangan Agus Salim, kita kehilangan Gus Dur," begitu tulis artikel tersebut, seakan menjadi ratapan kolektif atas runtuhnya harapan bangsa.

Menggunakan refleksi atas peristiwa besar seperti Reformasi 1998, penulis menyampaikan bahwa sejarah seharusnya menjadi pijakan bagi pemimpin saat ini. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Sumpah jabatan tinggal teks mati, etika kekuasaan hanya menjadi formalitas, dan rakyat kembali menjadi penonton dari panggung kekuasaan yang hanya mementingkan diri sendiri.

Dari ketiga artikel ini, benang merah yang sangat jelas adalah: bangsa ini sedang kehilangan arah karena krisis moral, lemahnya penegakan hukum, dan hilangnya keteladanan. Ketakutan yang berkembang dalam masyarakat bukan hanya karena ulat bulu, pagar laut ilegal, atau sumpah jabatan yang dilanggar, tapi karena ketiadaan pemimpin yang bisa dipercaya. Ketika rakyat takut dan pemerintah tidak peduli, maka yang lahir bukan hanya kekacauan, tetapi juga kehancuran jangka panjang.

Maka, apakah kita akan terus membiarkan ketakutan ini berkembang menjadi hantu sosial? Apakah kita akan menonton sandiwara hukum tanpa akhir? Apakah kita akan pasrah melihat etika dan sumpah menjadi teks mati? Atau, mungkinkah masih ada harapan untuk bangkit, jika kita semua berani menuntut perubahan yang nyata?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun