Beberapa waktu lalu, saya mampir ke sebuah kedai kopi baru di sudut kota setelah lelah keliling mengurus pekerjaan. Saya pribadi sering langganan ke Cafe di Surabaya, Libreria Eatery, sebagai tempat saya mencari inspirasi dan brainstorming bersama rekan kerja. Suasananya ramai, penuh anak muda yang asik ngobrol sambil sesekali menganggukkan kepala mengikuti musik yang diputar barista dari speaker kecil di pojok ruangan. Salah satu teman saya nyeletuk, "Heran, ya, ngapain sih orang pada rela antre cuma buat nongkrong di coffee shop? Bukan cuma ngopi, ini mah nyari suasana." Saya hanya tertawa, karena memang benar: budaya nongkrong di kafe sekarang bukan sekadar urusan kopi, tapi sudah jadi gaya hidup yang didukung musik sebagai pengikat suasana. Menariknya, bisnis kopi lokal justru makin berkembang berkat fenomena ini.
Tren nongkrong di kafe tumbuh pesat beberapa tahun terakhir, didorong oleh pergeseran gaya hidup urban dan perubahan cara anak muda memaknai waktu luang. Banyak pelaku bisnis kopi yang sadar, pengunjung tak hanya mencari cita rasa kopi, melainkan juga pengalaman sosial dan atmosfer yang nyaman dan di sinilah musik memainkan peran besar.
Secara psikologi sosial, ada istilah "third place", konsep ruang ketiga di luar rumah dan kantor sebagai tempat membangun jejaring, berbagi cerita, hingga mencari inspirasi. Musik yang diputar di coffee shop terbukti memperkuat rasa kebersamaan dan memperhalus suasana, sehingga pengunjung lebih betah berlama-lama. Sebuah studi kecil dari Harvard Business School bahkan menyebutkan, coffee shop yang mengombinasikan interior menarik dan playlist yang pas mampu meningkatkan durasi kunjungan.
Di Indonesia, kedai kopi independen juga kerap menjadikan musik sebagai ciri khas: ada yang memilih folk akustik untuk vibe santai, ada juga yang mengundang band indie lokal tampil live demi menciptakan ikatan lebih kuat dengan komunitas. Musik bukan cuma pemanis, tapi jadi medium yang menghidupkan cerita, membangun identitas brand, dan menarik pasar anak muda yang doyan eksplorasi.
Namun, di sisi lain, fenomena ini juga memunculkan tantangan baru. Tak sedikit pebisnis kopi yang akhirnya terjebak pada "tren" semata, tanpa inovasi atau orisinalitas, semua coffee shop jadi mirip, baik dari segi menu, dekorasi, maupun playlist. Akibatnya, loyalitas pelanggan pun jadi mudah berpindah kalau ada tempat lain yang menawarkan pengalaman lebih segar dan personal.
Agar bisnis kopi tetap tumbuh sehat, ada beberapa hal yang menurut saya penting dilakukan:
- Bangun identitas musik yang unik, jangan asal ikut tren. Cari karakter atau cerita lokal yang bisa diangkat lewat playlist atau kolaborasi musisi daerah.
- Libatkan komunitas lewat event musik live atau sesi open mic agar kedai benar-benar jadi ruang pertemuan dan kolaborasi.
- Jangan lupakan kualitas kopi dan pelayanan, karena sebaik apa pun atmosfer, pengunjung tetap akan kembali jika produk dan pengalaman utamanya memuaskan.
Pada akhirnya, budaya nongkrong dan musik memang telah menjadi "bahan bakar" pertumbuhan bisnis kopi lokal di Indonesia. Suasana yang nyaman, ditemani playlist yang pas, bisa membuat orang betah berlama-lama, bahkan jadi pelanggan setia. Tapi, untuk bertahan di tengah persaingan, coffee shop harus berani membangun identitas orisinal dan terus berinovasi, bukan hanya meniru gaya yang sedang viral.
Seperti kata salah satu pemilik kafe favorit saya:
 "Orang datang ke sini bukan cuma buat kopi, tapi buat pulang dengan cerita."
 Dan sering kali, cerita terbaik memang tercipta di sudut coffee shop, ditemani lagu dan tawa bersama teman.