Beberapa waktu lalu, saya dibuat terkejut saat teman memutar lagu yang sekilas terdengar seperti suara Ariana Grande dan Drake. Setelah didengarkan lebih lama, ternyata lagu itu sama sekali bukan hasil rekaman keduanya, melainkan buatan kecerdasan buatan alias AI. Lebih kaget lagi, video tersebut sudah jutaan kali diputar di TikTok dan YouTube, bahkan banyak yang mengira itu lagu asli, lengkap dengan lirik dan aransemen seperti rilisan resmi.
Fenomena ini kini makin marak. Saya pun penasaran dan menyempatkan diri menjajal fitur-fitur yang ada dari website Text-to-Speech lain seperti ElevenLabs dan terkejut dengan betapa suaranya terdengar semakin natural menyamai manusia asli. Di linimasa media sosial, mudah sekali menemukan lagu-lagu viral hasil olahan AI, mulai dari lagu parodi suara "Ariana Grande x Eminem", cover lagu-lagu lawas dengan suara penyanyi muda, sampai lagu orisinal yang seluruhnya dibuat oleh program komputer, seperti "Heart on My Sleeve" yang sempat ramai karena menggunakan suara "AI Drake" dan "AI The Weeknd". Tak jarang, lagu-lagu AI ini langsung masuk trending bahkan sebelum rilisan musisi aslinya.Â
Dengan perkembangan teknologi AI dan mesin pembuat musik secara instan seperti SUNO, Pertanyaannya, kenapa lagu-lagu yang dibuat oleh AI sekarang justru sering mendapat banyak atensi dan apa saja dampaknya untuk industri musik yang sudah lama dikenal sangat mengandalkan kreativitas manusia?
Fenomena ini sebenarnya tidak lepas dari perkembangan teknologi machine learning dan deepfake audio yang semakin canggih. Dengan algoritma yang tepat, AI bisa "meniru" karakter suara, gaya aransemen, bahkan pola penulisan lirik musisi terkenal. Hal ini membuat batas antara karya manusia dan buatan mesin jadi makin kabur. Dari sisi psikologi sosial, ada faktor novelty effect. orang cenderung tertarik dengan sesuatu yang baru atau unik. Lagu dengan suara "AI Ariana Grande" otomatis lebih cepat viral karena rasa penasaran, hiburan, dan sensasi "melihat hal mustahil" terjadi.
Di sisi lain, teori disruptive innovation (Clayton Christensen) juga relevan. AI dalam musik memudahkan siapa saja untuk menciptakan lagu dengan standar "industri", tanpa perlu studio mahal atau tim besar. Semakin banyak musisi dan kreator digital mencoba AI untuk "eksperimen" suara, dari kebutuhan konten cepat sampai iseng membuat meme audio.
Namun, kemudahan ini membawa sejumlah tantangan. Industri musik menghadapi ancaman serius soal hak cipta dan orisinalitas. Musisi bisa kehilangan penghasilan jika suara atau gayanya diambil AI tanpa izin. Platform streaming juga harus beradaptasi, memfilter mana karya asli dan mana hasil AI. Dari sisi pendengar, banjir lagu AI bisa membuat karya musisi manusia sulit mendapat perhatian, sekaligus berisiko menurunkan standar kualitas dan keunikan.
Mungkin sebagai solusi, industri musik perlu cepat menyesuaikan aturan, misal dengan teknologi watermark audio, regulasi hak cipta baru, atau edukasi publik tentang etika menggunakan AI di musik. Musisi juga bisa melihat AI sebagai alat bantu, bukan ancaman, dengan menggabungkan keunikan manusia dengan efisiensi teknologi. Pendengar sebaiknya tetap kritis dan menghargai proses kreatif, tidak hanya mengejar sensasi viral.
Pada akhirnya, AI memang membuka peluang dan tantangan baru dalam industri musik. Viralitas lagu buatan AI membuktikan teknologi tidak bisa dihindari, tapi tetap perlu dikelola dengan bijak. Kreativitas manusia dan kecanggihan mesin bisa saling melengkapi, selama batas etika dan penghargaan terhadap karya tetap dijaga. Di era apa pun, musik yang paling membekas tetap yang punya jiwa, entah itu dari manusia, mesin, atau kolaborasi keduanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI