Nikmatnya Kerja di Lingkungan Kampung/Desa
Saya sering memerhatikan story WhatsApp kenalan yang setiap hari ada saja ide untuk menu berbuka dan sahurnya. Apalagi kalau bukan memanfaatkan tanaman sekitar sebagai cara untuk terjaminnya ketahanan pangan nasional, eh...ketahanan pangan rumah tangga maksudnya. Daun ketela muda, daun pepaya, jantung pisang pun disulap menjadi sebuah menu yang bagi saya sendiri cukup enak. Bahkan ketika di sekolah tempatnya bekerja, dia dan teman-temannya bisa saling bahu membahu memasak. Apakah itu tidak mengundang peringatan dari atasan? Bagi orang seperti saya, mungkin itu menjadi sebuah peristiwa yang terlalu nekat karena malah memasak pada saat jam kerja. Eits, tapi setelah bertemu dengan yang bersangkutan, dia menjelaskan bahwa acara masak memasak itu dibagi tugasnya. Kalau waktu luang atau jam kosong maka dia meracik, dan bergantian saat temannya yang memiliki waktu luang atau jam kosong, temannya yang bertugas memasak. Jadi, waktu kerja bisa efektif dan efisien. Para siswa tidak ditinggal. Hak belajar mereka di sekolah tetap didapatkan.
Tentu saja kebiasaan di tempat kerja lain, bisa saja terdapat cara pemanfaatan waktu yang berbeda jika ada waktu luang. Itu pilihan masing-masing.
Namun di tempat kerja saya, tidak ada aktivitas masak memasak di bulan Ramadan ini. Jika ada waktu luang, hanya dimanfaatkan untuk berdiskusi ringan. Diskusi pun random, bisa tentang keluarga, anak didik, kasus viral dan sebagainya.
Sebenarnya apa yang dilakukan sahabat saya agak kurang tepat, mengingat itu dilakukan pada jam kerja. Namun tak selamanya waktu di sekolah dimanfaatkan hanya untuk urusan administrasi pembelajaran. Oleh karenanya, ketika ada yang bisa memanfaatkan jam kosong, sesekali memasak di sekolah untuk menu buka puasa saya rasa bukan hal yang keliru.
Akan tetapi, seperti yang saya tuliskan, di sekolah tempat kerja saya tidak ada aktivitas memasak di sekolah pada bulan suci ini. Namun karena di sekitar sekolah ditanami pohon melinjo, ketela pohon maka para guru yang menghendaki untuk urusan masak memasak di rumah, bisa memetik atau ramban daun so atau daun melinjo muda dan daun ketela muda.
Namun karena daun ketela maupun daun melinjo muda tidak selalu ada, maka itu bisa dilakukan sesekali. Tapi lumayan juga dimanfaatkan untuk campuran ketika memasak.
Hidup di Kampung
"Jantung pisangnya mau dimasak apa nggak, Mbak?" tanya tetangga saya. Saya jawab saja kalau tidak mau memasak jantung pisang tadi.
Akhirnya tetangga saya memetik jantung pisang, dan dibawa pulang untuk dimasak.
Cerita ini bukan hal yang aneh ketika hidup di perkampungan atau desa. Bisa jadi di lain waktu, sayalah yang ganti membutuhkan hal lain dari tetangga. Nilai sosial masih sangat dijaga oleh warga kampung.
Memang, ketika di rumah, karena hidup di lingkungan pedesaan, maka saya atau yang lain masih bisa memanfaatkan tanaman yang ada di sekitar rumah. Bahkan masih ada yang barter sayuran dengan tetangga.Â
Memang sungguh nikmat tinggal di desa. Kearifan lokal dalam pemenuhan kebutuhan makan bisa diberi dan kita bisa memberi juga ke tetangga. Tentu ini akan sedikit mengurangi pengeluaran untuk urusan menu berbuka atau sahur.
Meski tinggal di kampung dan bisa saling barter seperti itu, bukan berarti dilakukan setiap hari, ya. Saya rasa kalau setiap hari dilakukan juga keterlaluan. Namun dengan saling barter, yang jelas itu sudah bisa sedikit menghemat keuangan. Selebihnya, pemenuhan kebutuhan makan ya harus dibeli juga karena ada petani sayuran yang membutuhkan uang atas sayuran hasil panen mereka. Jadi, hemat itu perlu, tetapi jangan sampai terlampau pelit kepada petani yang menjual hasil panennya. Dengan membeli sayuran hasil panen para petani, kita juga menolong perekonomian mereka.
___
Branjang, 15 Maret 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI