Melihat dan mengamati bocah yang begitu aktif di kelas rasanya bahagia jika aktifnya dalam hal positif. Tetapi, jika yang terjadi sebaliknya, maka sudah pasti bikin aku puyeng untuk mengkondisikan pembelajaran agar hidup.
Sebut saja Ikhsan. Siswa kelas IV. Dia siswa yang kemampuan kognitifnya kurang dibandingkan teman-temannya. Untuk membaca saja masih mengeja. Dan, itupun belum bisa membaca rangkaian suku kata yang ada dalam teks bacaan.
Aku sendiri tak tahu, apakah dia sudah dibawa ke ahlinya. Apakah dia termasuk slow learner ataukah lainnya. Aku baru saja masuk di sekolah ini. Tepatnya lima bulan. Jadi, belum hapal betul keluarga dan kemampuannya dalam mendidik Ikhsan.
Biasanya anak, dengan keluhan slow learner, masih bisa mengenal uang. Tapi tak demikian si Ikhsan. Dia sama sekali tak paham.
Pernah ibunya ke sekolah karena Ikhsan merasa uangnya dicuri oleh adik kelasnya. Si ibu langsung menemui siswa yang dituduh oleh Ikhsan. Melihat itu, Bu Ribut dan aku mendekati ibu Ikhsan yang dikelilingi para siswa.
***
"Ibunya Ikhsan memang sering seperti itu, Bu". Cerita Bu Ribut, begitu ibu Ikhsan pulang.
Jadi, ibu Ikhsan tak menemui guru-guru sebelum konfirmasi ke siswa kalau misalnya ada masalah dengan Ikhsan. Sebenarnya kasihan juga siswa yang belum tentu bersalah.
Aku sendiri paham kalau guru harus siap dengan segala hal yang mengejutkan baik selama berkomunikasi dengan siswa, orangtua dan masyarakat. Guru tidak bisa memilih, siswa yang diajar harus pandai atau tidak. Semua anak usia sekolah wajib diterima di sekolah-sekolah.
Jadi, mendidik Ikhsan yang berkebutuhan khusus memang harus diterima oleh sekolah dan guru. Justru itulah tantangan besar bagi sekolah dan guru. Tetapi bukan tantangan untuk membuat pandai siswa berkebutuhan khusus. Setidaknya, siswa itu kelak bisa mandiri dan memiliki akhlak mulia.