Malam ini kembali lagi lelaki sepuh itu ke rumahku. Padahal baru beberapa hari yang lalu beliau ke rumah. Untuk kerokan pastinya.
Tubuh ringkih itu berulang kali harus menikmati sentuhan logam mata uang dengan olesan minyak kayu putih. Masuk angin, begitu keluhannya tiap kali minta dikeroki.
Meski tubuhku sendiri lelah karena urusan kerja dan anak-suami, aku tak mungkin menolak permintaannya. Kalau dulu sih yang ngeroki biasanya suamiku. Namun akhir-akhir ini, akulah yang turun tangan.
Sebelumnya aku pasti segera menutup pintu-pintu kamar tidur. Menyembunyikan kondisi ruangan yang kayak kapal pecah! Maklumlah anak-anak masih kecil, masih remusuh. Barang-barang mainan yang baru saja kurapikan, dalam hitungan detik, ambyar!
Lalu kusiapkan kursi plastik yang agak tinggi untuk lelaki sepuh, yang adalah bapakku. Dengan sigap si bungsu meraih tangan Simbah kakungnya. Ketika sudah duduk, segera si bungsu duduk di pangkuannya. Akhirnya suami mengajak si bungsu ke ruang dapur dan disetelkannya film kartun dari YouTube.
***
Beberapa saat hening. Keluhan akan kondisi tubuhnya tidak kudengar. Aku bertanya-tanya dalam hati, ada apa gerangan bapakku itu. Aku duduk di sebelahnya.
"Tadi tu Tedi ke rumah. Mau pinjam uang sejuta," cerita bapakku, memecah keheningan.
Aku tercenung. Rasanya belum lama mas Tedi, kakak iparku dilunasi utangnya oleh bapak, kok sekarang sudah mau utang lagi. Utangnya dulu untuk merawat ibunya yang opname di rumah sakit.
Pernah juga mas Tedi mengambil uang pensiun ibu dengan surat kuasa yang disimpan kakakku. Adikku marah besar dan mengatakan kalau perilaku mas Tedi sangat keterlaluan. Ya karena anak-anaknya, termasuk aku saja tidak berani mengotak-atik uang tabungan ibu, malah menantunya berani seperti itu.