Kali ini.
Untuk kedua kalinya mas Wawan mencalonkan diri menjadi lurah. Banyak kemajuan di kelurahan kami. Desa wisata dengan dunia literasi dan masyarakat agamis benar-benar digalakkan.
Perpustakaan kalurahan bisa maju. Pemuda-pemuda karang taruna digandeng untuk menghasilkan karya tulis yang beragam. Mas Wawan memintaku untuk mendampingi mereka dalam dunia tulis-menulis. Dia paham benar kalau aku sering menulis di blog dan membukukan beberapa karyaku.
Anak-anak sekolah pun menjadi gemar membaca. Itu adalah sesuatu yang membuat bapak bahagia. Namun bukan berarti bapak membuka pintu hatinya untuk menerima mas Wawan sebagai menantunya.
Di saat aku mendampingi para pemuda karang taruna, mas Wawan biasanya meninjau kegiatan kami. Hanya dengan alasan itu bapak tidak berani marah pada mas Wawan. Kegiatan dilakukan di balai kalurahan.
Tentu sebagai kekasihnya aku senang bukan kepalang. Para pemuda karang taruna sering menggoda kami saat berbincang berdua.
"Nanti kalau mas Wawan terpilih lagi, dan tidak ada perubahan sikap dari bapak, lebih baik mas memilih gadis lain sajalah..."
"Lhooo ..piye to, dik? Kok wis nyerah ngono..." ("Lhooo...gimana to, dik? Kok sudah nyerah begitu...")
Aku yakin kalau mas Wawan paham bahwa aku sudah lelah dengan semuanya. Di hatinya pun merasa lelah. Namun kesetiaannya padaku selama empat tahun ini benar-benar diacungi jempol oleh warga.
"Banyak gadis yang suka masa mas lurah gitu kok," candaku, meski hatiku merasa sakit.
"Halah. Apa to, dik?"