Rasanya cukup geli sekaligus prihatin ketika masa pandemi ternyata membawa dampak buruk bagi hubungan suami-istri. Seharusnya masa pandemi ini membuat pasutri semakin kompak, nyatanya malah mengundang rasa berkebalikan. Akhirnya muncul ide untuk berpisah.
Melepas semua perjuangan yang telah dilakukan saat masih pedekate, melamar, sampai ijab kabul. Padahal semua itu butuh perjuangan yang tidak mudah.
Ketika perjuangan berat akhirnya berakhir di pelaminan, sudah seharusnya disyukuri dan selalu dipertahankan. Sekalipun mempertahankan rumah tangga tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Ada banyak kisah perjuangan berat untuk mempertahankan biduk rumah tangga. Semua dengan alasan anak. Ya...anak menjadi kekuatan luar biasa untuk keutuhan rumah tangga.
Sampai saat ini banyak rumah tangga bertahan karena sang anak tak mau jika kedua orang tuanya berpisah. Pasangan suami istri ini tidak tega ketika melihat anak mengeluh dan menangis saat mengetahui orangtuanya akan berpisah.
Selain anak, pasutri perlu ingat lagi komitmen awal saat akan menikah. Komitmen yang diingat itu lalu dipegang teguh. Caranya ya dengan berkomunikasi yang sehat antara suami dan istri.
Sesekali perlu berjalan atau refreshing berdua di sela-sela kesibukan bekerja dan urusan rumah tangga. Merawat kasih sayang. Itulah yang banyak dilupakan oleh pasangan suami istri.
Mereka menganggap bahwa kasih sayang tak perlu dirawat, toh sudah dicurahkan saat pedekate. Sungguh, pandangan itu sangat keliru.
Ya seperti saat menanam tanaman, apapun itu. Ketika menanam ya mudah. Namun saat merawat dengan memberi pupuk, menyiram setiap hari, menghilangkan hama yang mungkin hinggap di tanaman dan lain-lain harus dilakukan. Demi sehat, subur dan indahnya tanaman.
Merawat kisah kasih cinta sangat berarti demi keutuhan rumah tangga. Ingat saja saat pedekate dulu, seolah pasangan tak mau berpisah. Tiada kata berpisah.Â
Setiap saat setiap waktu berkomunikasi dan saling merindukan. Saya kira itu sangat bermanfaat untuk menjaga keutuhan rumah tangga.