Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Pantang Menyerah, Sukses Pasti Teraih

30 Juni 2020   09:52 Diperbarui: 30 Juni 2020   10:03 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.tipspengembangandiri.com

Saya lulus kuliah tahun 2004. Di tahun itu pula saya mencoba peruntungan untuk menjadi pendidik di sekolah-sekolah dan tes CPNS. Namanya juga usaha. Tetap harus berjalan. Meski hasil kadang tak sesuai harapan.

Kali ini saya ceritakan saja pengalaman ketika harus mencoba peruntungan menjadi pendidik. Harapannya bisa menginspirasi para lulusan sekolah ataupun perkuliahan tahun pandemi ini. 

Idealis, Ingin bekerja sesuai ijazah

Yang namanya masih muda, baru saja lulus kuliah, tentu saya sangat idealis. Saya ingin bekerja sesuai dengan ilmu dan ijazah yang saya pegang dari UNY sebagai guru sejarah. 

Dari beberapa sahabat, saya mengetahui beberapa sekolah membutuhkan guru sejarah waktu itu.

"Nyoba nglamar neng SMP ....atau SMP..., dik," begitu saran seorang teman dan senior di wilayah kecamatan ---sekarang disebut kapanewon--- tempat kami tinggal.

"Aku wingi ditawari soale. Tapi aku kan wis neng kantor," begitu ceritanya lagi.

Atas saran dan pertimbangan teman dan senior saya, akhirnya saya mencoba melamar menjadi tenaga pendidik di SMP yang dimaksud.

Lain waktu masih teman yang sama juga menyarankan untuk melamar di SMA X. Lagi-lagi saya melamar juga.

Jawaban yang diberikan semua sekolah hampir sama. 

"Sekolah kami tidak membutuhkan guru Sejarah, mbak," begitu jawaban mereka.

"Tapi kalau mbak-e mau meninggalkan berkas, sewaktu-waktu kami membutuhkan, akan kami hubungi."

Oke akhirnya saya meninggalkan berkas di masing-masing sekolah yang saya lamar. Oh iya, bahkan saya sempat juga melamar di sekolah tempat saya dulu bersekolah. Saya tahu kalau sekolah tadi membutuhkan guru sesuai ijazah saya dari Bulik.

Khusus di sekolah ini harus ada seleksi. Soalnya pelamar guru untuk mata pelajaran tersebut ada dua orang. Pada akhirnya bukan saya yang terpilih menjadi tenaga guru di sana. Dan suatu saat saya bertemu dengan guru saya di sebuah rumah makan.

Kami mengobrol santai. Ya meski saat bersekolah dulu, beliau termasuk guru yang dinilai siswa "pelit nilai" tapi cara mengajarnya sangat berkesan dan menginspirasi saya. 

Pembelajaran sangat menyenangkan. Tak terasa belajar sejarah bersamanya menjadi lebih ringan. Meski untuk mencatat agak bingung karena beliau salah satu guru yang mengajar dengan banyak tanda anak panah dan bulatan-bulatan. Hihihii...

Kembali ke cerita dari guru saya ketika bertemu di rumah makan.

"Gimana, ndhuk. Sekarang mengajar di mana?"

Saya menyebutkan salah satu nama sekolah yang akhirnya memberi kesempatan saya untuk menjadi GTT di sana. Mengajar di sana sesuai dengan ijazah saya. Alhamdulillah. Senang juga memiliki pengalaman mengajar di sana.

"Ya syukurlah, ndhuk. Pas kamu melamar ke sekolah, sebenarnya aku disuruh  kamu sama mbak X."

Saya menyimak cerita pak guru tadi.

"Tetapi aku menolak. Aku wegah, mbak. Wong aku tahu kalau seleksi hanya untuk formalitas."

"Maksud gimana, pak?"

"Ya aku sudah tahu, siapa yang bakal jadi tenaga pendidik di sekolah."

Saya tersenyum. Ternyata untuk menjadi seorang GTT saja, ada istilah titipan. Okelah. Tak apa. Saya yakin Allah sudah mengatur semua meski guru saya tadi menyatakan kekecewaannya waktu dulu.

Saya tahu guru saya itu sangat idealis. Jadi wajar jika kecewa karena ada tes untuk calon guru hanya bersifat formalitas.

Menjadi pendidik, meski tak sesuai dengan ijazah

Dalam perkembangannya, saya akhirnya melamar di sekolah swasta di kampung saya. Meski telah menjadi pendidik di sebuah SMP. 

Ya waktu itu, beban mengajar hanya 18 jam perminggu. Jadi ketika ada waktu saya mengajar di sekolah dasar tadi. Kedua sekolah tidak keberatan. Dan yang melakukan hal yang sama tak hanya saya. Ada beberapa teman yang mengajar di dua sekolah 

Saat pertama kali mengajar di SD, para siswa menyapa dengan sapaan "mbak". Maklum para siswa adalah tetangga. Lidah mereka terbiasa menyapa seperti itu. Hihihii..

Saya sih enjoy saja dipanggil seperti itu. Dianggap muda. Ya jelas, saat itu masih di bawah 25 tahun. Sapaan "mbak" masih melekat sampai sekarang untuk alumni sekolah.

Namun pada akhirnya para siswa menyapa dengan "Bu guru" atau "Bu Jora". Saya sempat heran juga, kenapa mereka menyapa saya seperti itu.

"Kemarin dimarahi pak guru. Nggak boleh menyapa mbak." Begitu cerita salah satu siswa.

"Meski masih muda tetapi tetap harus dipanggil Bu guru katanya."

Saya tak keberatan disapa seperti apapun yang penting para siswa enjoy ketika saya ajar. Mengajar pun tetap terlalui meski mengajar di dua sekolah. Bentrok jadwal tidak terjadi.

Pada akhirnya karena ada program sertifikasi yang mengharuskan guru memiliki beban kerja 24 jam saya mengundurkan diri dari SMP. Sebagai catatan semula para PNS memang mengajar 18 jam perminggu. Namun karena sertifikasi, mereka mengajar 24 jam perminggu. 

Saya tidak mempermasalahkan. Namanya rezeki pasti ada yang mengatur, Allah. Setelah itu saya fokus mengajar di SD. Meski mengajar di SD saya tetap ingin profesional.

Alhasil saya memutuskan untuk kuliah lagi agar ijazah sesuai dengan tempat mengajar. Itu saya lakukan di tahun 2015-an. Meski bukan PNS dan honor malah terbilang lebih banyak para buruh, Alhamdulillah proses kuliah berjalan lancar. 

Singkat cerita, Ijazah PGSD saya pegang. Jadi dobel gelar S1nya. Bagi orang lain mungkin itu tindakan konyol tetapi tak saya pedulikan. Hehehe... Namun ijazah bermanfaat untuk proses inpasing saya di tahun 2017-2018.

Pelajaran yang Bisa dipetik

Bagi para lulusan SMA atau S1 yang baru mencari tempat bekerja, atau bahkan sudah bekerja tetapi merasa gajinya di bawah UMR, tetaplah telaten bekerja. Di luar sana banyak orang yang memimpikan dan menginginkan bekerja seperti kita. Apalagi masa-masa pandemi seperti ini. Jadi bersyukur harus terus dilakukan.

Hasil ketelatenan ---kesuksesan--- tidak didapatkan serta merta. Terkadang ada proses berliku untuk meraihnya. Lelah hati dan pikiran memang ada. Namun yakin saja bahwa rezeki selalu mengikuti setiap usaha yang dilakukan.

Mencapai puncak kesuksesan setiap orang berbeda. Tak perlu berkecil hati dan jangan terlalu mendonggakkan kepala. Lebih baik lihat orang yang kurang beruntung daripada kita.

Dengan begitu hati lebih tenang dan bekerja pun akan selalu semangat. Apalagi didukung dengan ibadah yang khusyuk serta restu orang tua atau pasangan. Semangat, restu orangtua atau pasangan dan kedekatan dengan Illahi itulah yang akan mengantar kesuksesan kedepannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun