Menulis merupakan aktivitas gampang-gampang susah meski sekadar menuangkan isi pikiran. Ketika menuliskan isi pikiran pasti penulis memiliki visi, misi atau tujuan tertentu.
Ada yang mengatakan bahwa menulis adalah hobi seseorang di waktu-waktu senggang. Bukan berarti dalam menulis itu asal-asalan. Harus memiliki nilai bagi pembaca.
Pada akhirnya menulis menjadi sebuah beban berat juga bagi seseorang. Misalnya saja bagi guru. Guru merupakan sebuah profesi mulia di mana karakter positif lebih kuat daripada negatifnya. Guru harus menjadi sosok yang digugu dan ditiru oleh peserta didiknya.
Oleh karenanya, ketika guru memiliki hobi menulis, ada beban moral di hadapan peserta didik. Misalnya saja, saya pribadi. Menulis hampir setiap hari saya lakukan. Dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan beragam topik.
Sejauh ini saya berusaha menulis yang benar-benar bermakna dan dekat dengan saya. Dengan begitu, saya tak perlu berpusing-pusing untuk merangkai kata-kata menjadi sebuah artikel, cerpen, dan sebagainya.
Itulah yang menjadi acuan pertama saya saat menulis. Ditambah lagi dengan penguasaan bahasa. Bahasa ---wikipedia--- memiliki arti kemampuan yang dimiliki manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya menggunakan tanda, misalnya kata dan gerakan. Jadi sudah jelas penguasaan bahasa mutlak dimiliki ketika menulis atau mengucapkan rangkaian kata.
Jika tidak mahir menggunakan sebuah bahasa maka tidak perlu memaksakan diri. Akan menjadi aneh dan salah apabila tidak memahami maksud kalimat dalam bahasa yang tidak dikuasainya.
Dan inilah yang saya alami ketika berusaha menulis sebuah gagasan dalam bahasa Jawa. Saya memang orang Jawa tulen. Ibu dan bapak saya asli dari Yogyakarta. Namun kemampuan bahasa Jawa saya sangat jauh.
Sebagaimana diketahui secara umum, bahasa Jawa termasuk bahasa daerah yang sulit ketika harus dihadapkan dengan pakem-pakem yang ada. Ada tingkatan bahasa dari basa ngoko sampai krama inggil. Masing-masing peruntukannya tersendiri. Untuk orang seumuran maka bisa menggunakan basa ngoko. Namun akan beda jika berhadapan dengan orang sepuh atau pejabat, paling tidak harus menggunakan basa krama.Â
Jika sekadar berkomunikasi dengan bahasa Jawa, jelas saya bisa lancar. Namun nyatanya sering keliru juga dalam penggunaannya. Ketika kepala sekolah saya berasal dari keahlian Bahasa Jawa, saya belajar banyak dari beliau. Paling tidak dua kali periode jabatan beliau selalu membenahi penggunaan bahasa Jawa saya yang keliru.
Akan tetapi dalam penulisan bahasa Jawa ---artikel, cerpen dan sebagainya--- saya tetap mengalami kesulitan. Dalam menulis berbahasa Jawa, saya sebagai orang Jawa seharusnya pakem yang ada. Tidak asal. Kenapa?Â