Hari ini merupakan tahun kelimabelas usia pernikahan kami. Alhamdulillah kami bisa lalui rumah tangga dengan baik meski terkadang menghadapi permasalahan demi permasalahan. Rumah tangga manapun pasti mengalaminya. Bisa melalui permasalahan yang ada merupakan kebahagiaan sebuah keluarga. Tak peduli kaya atau miskin selama saling berkomitmen maka rumah tangga akan langgeng.Â
Di usia lima belas tahun pernikahan itu kami diamanahi tiga buah hati. Dua putri dan satu putra. Lengkap sudah kebahagiaan kami. Kami sangat bersyukur menjadi keluarga yang saling berpegang pada komitmen apapun yang terjadi dihadapi bersama.Â
Kekhawatiran eyang putriku ketika aku dilamar Mas Rayyan tak terjadi. Aku anak pertama sedang mas Rayyan anak ketiga di keluarganya. Dalam tradisi atau kepercayaan orang Jawa pernikahan anak pertama dengan anak ketiga adalah pantangan. Tak boleh terjadi. Pernikahan lusan menjadi pertanda akan terjadi kesialan.Â
Pernikahan lusan artinya pernikahan anak ketelu --atau ketiga dalam bahasa Indonesia-- dengan anak kapisan --atau anak pertama-- dari pihak besan. Pernikahan seperti itu dipercaya orang Jawa yang masih kejawen menjadi pertanda buruk.Â
Menurut eyang putriku pernikahan lusan akan menyebabkan keluarga kami nantinya dirundung banyak pertengkaran. Bahkan berujung pada kematian sanak saudara. Oleh karenanya beliau menentang keras rencana pernikahanku dengan Mas Rayyan.Â
Beruntungnya kedua orangtuaku sudah berpandangan maju. Segala sesuatu yang terjadi bukan karena dampak pernikahan lusan. Akan tetapi kuasa Allah yang menentukan, begitu pemikiran orangtuaku. Demikian juga kedua orangtua Mas Rayyan. Mereka pun sependapat dengan orangtuaku. Kelahiran, jodoh dan kematian adalah rahasia Illahi. Hal yang terpenting ketika membina biduk rumah tangga tergantung pada pribadi suami istri.Â
Akhirnya meski ditentang eyang putri namun ayah merestui pernikahan kami. Beliau sendiri yang menjadi wali nikahku.Â
**
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun kami menjalani rumah tangga layaknya keluarga lain. Terkadang diuji dengan sakit, pertengkaran, perbedaan pendapat dan sebagainya. Namun ketika menghadapi itu semua, kami mengingat-ingat kembali perjuangan pernikahan kami. Kami bertekad membuktikan bahwa pernikahan lusan bukanlah sebuah tanda sial.Â
Eyang putri saat ini masih sehat dan bisa menyaksikan kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan cicitnya. Setiap hari Minggu kami ajak anak-anak untuk mengunjungi eyang buyutnya. Eyang putri tersenyum setiap kali kami ke rumahnya. Doa dan puji syukur selalu terucap dari bibirnya.Â