Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Rapor Penentu Kelulusan, Berita Buruk Bagi Siswa Nakal

2 Januari 2015   22:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:57 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Rapor jadi penentu kelulusan. Akhirnya ada titik terang di ujung terowongan. Begitu kalimat di Pojok Kompas, terbitan Jumat 02 Januari 2015.

Kalau kelulusan seratus persen diserahkan ke sekolah itu lebih baik, kata kepala sekolah SMAN 29 Jakarta. BETULKAH ITU LEBIH BAIK?.

Jawaban paling aman adalah “belum tentu”. Kalau melihat peluang kecurangan, justru akan lebih besar dan lebih massif. Bagi kelompok yang menentang UN, salah satu yang menjadi alasan adalah banyaknya kecurangan yang terjadi di semua lini bahkan sekolah ikut berperan demi mencapai target kelulusan yang tinggi. Lantas, bagaimana bisa kelulusan mutlak diserahkan ke sekolah?.

Kalau disensus, nilai rapor dari seluruh siswa hampir pasti tinggi bahkan sangat tinggi. Tetapi nilai itu tidak mencerminkan kemampuan riil siswa. Misalnya begini, kelas tiga SMA tidak bisa mengkonversi satuan dari satu orde satuan ke orde satuan lainnya, tetapi nilai fisika di rapor delapan koma lima, bahkan ada yang sepuluh (sempurna). Situasi ini sangat pantas menjadi bahan kajian mendalam, ada apa?

Bagi yang menolak UN sebagai penentu kelulusan, alasan klise lainnya adalah begini :”masa sih hanya seminggu UN menjadi penentu keberhasilan tiga tahun belajar”. Alasan itu betul juga, tetapi terkadang kita perlu membalikkan cara berpikir dan cara bertanya menjadi begini :”masa sih sudah belajar tiga tahun, kok masih takut menghadapi seminggu UN”. Coba, untukpertanyaan terakhir siapa yang berani memberikan jawaban?.

Membuat rapor sebagai penentu kelulusan berarti menyerahkan nasib siswa mutlak di tangan guru bidang studi, wali kelas dan guru BK. Pasti sebagian guru akan berkata :’hei, kelulusanmu di ujung pulpenku ini, jadi jangan macam-macam. Kalau kau ingin lulus, maka ……. …. …”. Titik-titik itu bisa diisi dengan bermacam-macam hal. Tidak saya katakan bahwa hal seperti itu pasti terjadi, tetapi seperti itu berpeluang besar untuk terjadi.

Keputusan rapor sebagai penentu kelulusan masih dibumbui dengan kalimat sok ideal. Kelulusan siswa ditentukan dari sikap, penilaian akademis dan psikomotorik, kemampuan siswa dalam menerapkan hal-hal yang sudah dipelajari, begitu katanya. Di sinilah mulai terlihat karakter yang munafik sok alim itu.

Penilaian terhadap sikap adalah sesuatu yang sangat sulit, subjektivitasnya pasti sangat relatif sekali. Di sini, gadis-gadis siswa yang berparas cantik akan lebih mendapat keuntungan. Dan entah dengan cara bagaimana guru dapat menilai sikap siswa utuh menyeluruh, sebab hanya sekian jam sang guru itu bertemu dengan siswa, dibandingkan dengan sekian jam yang lebih lama di luar sana. Ini mengkhawatirkan sebab dapat menggiring siswa berlatih untuk berpura-pura, selalu terlihat baik di sekolah alhamdulilah tidak tau di luar sekolah. Tibalah saatnya siswa harus belajar bagaimana menjadi seorang “munafik” yang baik, demi kelulusan.

Keputusan rapor sebagai penentu kelulusan adalah berita buruk buat siswa-siswa yang bandel dan nakal. Bandel dan nakal bukanlah kejahatan, itu mungkin saja hanya ventilasi untuk menyalurkan energi tubuh yang berlebih.

Jadi sebenarnya “rapor sebagai penentu kelulusan” bukanlah titik terang di ujung terowongan. Itu hanya sekedar berganti terowongan gelap lainnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun