Gembira berlebihan akan mengurangi kewaspadaan. Bukan saya yang bilang begitu tetapi saya membacanya di sebuah buku kusam tak bersampul, bukunya sudah hilang, dan yang saya ingat hanya sebaris itu saja. Bandot tua tampaknya selalu begitu, lebih banyak lupa dari pada ingat.
Mungkin meningkatnya kasus positif terinfeksi COVID-19 pada bulan Desember 2020, dan meningkat makin tajam saat kalender harus diganti, dapat diajukan sebagai salah satu bukti bahwa teori tersebut benar. Gembira berlebihan akan mengurangi kewaspadaan. Tapi sebetulnya teori itu tidak perlu pembuktian, sebab segala sesuatu yang berlebihan tidak baik untuk dan bagi siapapun.
Kabar tentang vaksin tentu menggembirakan. Buat sebagian orang, vaksin itu adalah hantu blau yang tidak jelas, tetapi diakui bahwa vaksin menggembirakan mayoritas orang. Impian untuk bebas berkeliaran, jungkir balik, cipika cipiki, dangdutan, sunatan, dan lain-lain tampak akan segera bisa diraih. Kasihan semua orang yang sekolah, duduk setahun di rumah tiba-tiba naik kelas.
Tapi aneh binti ajaib binti bingung plus heran, hasil pertama dari berita kedatangan vaksin permata hati itu adalah lonjakan kasus, dan makin hari makin ngelunjak.
Sodara-sodara, gembira berlebihan akan mengurangi kewaspadaan, dapat menjelaskan dengan mudah lonjakan kasus gila ini. Gembira berlebihan karena vaksin sudah tiba, itu menurunkan kedisiplinan 3M yang sudah rendah itu menuju nyungsep alias tiarap. Jika tiarap menghadap tanah masih bisa merangkak, tapi yang ini tiarap menghadap ke langit. Tiarap menghadap langit, bukan hanya droplet mengandung virus yang bisa masuk ke hidung, cecak yang buang hajatpun jadi berbahaya.
Efek lain karena vaksin sudah tiba adalah lahirnya berita yang saling tabrak menabrak, tabrakan beruntun. Satu berita dinihilkan berita lain, lalu berita itu dinihilkan lagi oleh berita yang lain lagi, sambung-menyambung dari Sabang hingga Merauke.Â
Ada seratus berita yang berlainan hanya tentang kategori siapa yang dapat memperoleh suntikan vaksin. Bahkan banyak yang meminta, mulai dari politikus, ketua IDI, pengamat, oposisi pemerintah, agar presiden menjadi orang pertama yang disuntik vaksin.
Maksud dan tujuannya mudah ditebak. Jika vaksin berbahaya, presiden akan menjadi orang pertama yang menderita atau bahkan meninggal. Dan jika vaksin aman dan membuat tubuh menjadi kebal, oposisi akan berteriak bahwa presiden mengutamakan keselamatan dirinya sendiri dan membiarkan rakyat menderita. Â Seperti itulah gaya berpolitik seorang politikus kacangan, politikus remeh, yang volume otaknya kecil dan ditaruh didengkul pula.
Pandemi masih jauh dari tuntas, hembusan kabar bahwa varian COVID-19 sudah menjadi wabah pula. Kemampuan menular varian hasil mutasi itu kabarnya jauh melampaui kemampuan menular virus yang menjadi leluhurnya. Celakanya, varian itu sudah tiba di Singapura, tetangga yang menjadi tempat orang kaya Indonesia kongkow-kongkow menghabiskan libur sore. Lagi pula tiupan angin dari Singapura bisa lho menjangkau sampai ke Pangkal Pinang.
Dan tidak ada penjelasan, mungkin karena tidak ada yang mengetahui, apakah vaksin yang sudah tiba itu berguna untuk melatih tubuh untuk mengenali virus varian itu.
Dan jika ternyata vaksin itu tidak menjangkau varian virus itu, maka sia-sialah vaksinasi yang mahal dan memusingkan itu. Kita menghabiskan banyak uang hanya untuk melepaskan diri dari mulut buaya menuju mulut harimau. Cilaka duabelas pas.