Hari sabtu sore saya ketemu seorang sahabat yang datang dari Medan karena urusan khusus katanya. Kartu nama yang disodorkan padaku juga khusus, sebab di kartu itu tertulis saat ini dia menjadi pentolan di tim sukses salah satu calon kepala daerah Sumatera Utara pada pilkada 2018 bulan Juli nanti. Pada hal saya tahu profesi harian teman ini selama ini adalah di pendidikan.
Sebagai teman aku berharap kau berpartisipasi, meski tidak ikut memilih di sana, tetapi teman-teman di sana termasuk keluarga mesti kau arahkan untuk mencoblos calon ini, oke? kata temanku ini.
Ah kawan, itu kan hak mutlak setiap orang. Tapi sekedar menyarankan okelah, itu akan saya lakukan sambil menekankan bahwa pilihan mereka tetap mutlak di tangan mereka, begitu kan? Dan juga akan saya tekankan agar mereka memilih sesuai hati nurani, pilih calon yang menurut kalian berkemungkinan akan menghasilkan perbaikan. Jika ada timses yang datang menyodorkan uang sumbangan, atau uang bantuan, atau uang apalah namanya, kalian terima saja, dari semua calon terima saja, gunakan uang itu sebaik-baiknya, tetapi pilihlah tetap sesuai hati nurani, bukan berdasarkan besaran uang. Itu akan saya sarankan ke semua teman dan keluarga di sana, setuju? Kata saya.
Sahabatku ini diam, pura-pura menyeruput kopi dan menyedot rokok, lalu menghembuskan asap ke udara, pencemaran.
Kawan, aku kurang paham apa yang kau maksud dengan hati nurani. Apakah itu tentang hubungan darah misalnya dari suku yang sama, atau hubungan spiritual karena agama yang sama, atau karena kepentingan yang sama? tanya temanku ini.
Oh, bukan itu. Memilih kepala daerah seperti Gubernur bukan untuk memilih pemimpin adat, jadi tak berkaitan dengan suku. Memilih kepala daerah juga bukan untuk memilih pemimpin iman spiritual yang hendak membimbing rakyat ke jalan menuju surga, jadi tak berkaitan dengan agama. Memilih kepala daerah itu adalah memilih orang untuk mengomandoi derap langkah pembangunan, agar rakyat dapat meningkatkan kesejahteraannya, nyaman dan aman, menghirup udara yang bersih dan mandi di sungai yang jernih. Kata saya pada teman ini.
Binggo kawan, kita seide dan sepaham rupanya. Itulah sebabnya saya minta tolong padamu agar mengarahkan semua teman kita di sana dan semua keluarga agar mencoblos calon ini nanti, kata teman ini sambil menunjukkan foto calon yang didukungnya. Tepat seperti yang kau sebutkan itulah calon ini kawan, akan memberikan kesejahteraan ke seluruh rakyat di daerahnya.
Tunggu dulu kawan, maksudmu calon yang kau dukung itu berjanji seperti itu?, berjanji akan memberikan kesejahteraan ke seluruh rakyat Sumatera Utara? Ya, begitu kawan, itulah janji dan sekaligus tekadnya, itu pula sebabnya saya mendukungnya.
Kalau begitu, mungkin kita akan sangat berbeda pandangan kawan. Sebab saya malah berkampanye agar jangan memilih calon yang berjanji memberikan kesejahteraan ke seluruh rakyat, sebab itu adalah janji yang tidak mungkin direalisasikan, itu janji fatamorgana kawan, kata saya.
Bah, kau perlu membaca ulang mukadimah UUD 1945, pantas dulu nilaimu pada mata kuliah kewiraan hanya dapat C, itupun setelah mengulang dua kali. Di mukadimah konstitusi itu jelas tertulis frase .. dan untuk mensejahterakan seluruh rakyat... kata temanku ini lagi.
Nah kawan, tampaknya kita berbeda dalam memahami frase yang kau sebutkan itu. Banyak politikus memanfaatkan frase itu untuk kepentingan politiknya, banyak juga rakyat memahami frase itu dengan pemahaman bahwa negara harus memberikan uang ke rakyat, itu sebabnya hingga kini sangat banyak yang protes tidak setuju karena subsidi dan bantuan tunai langsung dicabut. Banyak juga menafsirkan bahwa pemerintah wajib bekerja keras, rakyat tinggal menunggu datangnya kesejahteraan. Nah, tampaknya calon yang kau dukung itu adalah seperti yang saya sebutkan itu yaaa, kata saya pada teman ini.