Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Takut Salah Saat Belajar

17 Januari 2018   15:25 Diperbarui: 17 Januari 2018   15:32 1310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: http://my-kid-could-paint-that.blogspot.co.id

Ketika kau ditanya oleh guru, tahun berapa Konferensi Meja Bundar dilaksanakan dan ditandatangani, lalu kau jawab tahun 1950. Jawabanmu salah sebab konferensi itu berlangsung tahun 1948. Apakah engkau berdosa menjawab seperti itu?. Tidak pak, jawab siswa yang aku tanya itu.

Nah, kalau begitu, saat belajar jangan pernah takut berbuat salah, tetapi tetaplah takut berbuat dosa. Kesalahan saat belajar itu bukan dosa dan tidak melanggar hukum yang manapun. Bisa kau berikan contoh perbuatan dosa?, menyontek saat ujian pak, jawab siswa itu. Kalau begitu, ya kapanpun ujian jangan menyontek. Setuju?

'1. Mendewakan Angka

Justru ilmu pengetahuan bertumbuh menjadi seperti sekarang karena kesalahan. Selama ribuan tahun manusia percaya bahwa Matahari yang bergerak mengelilingi Bumi, itu sebagai contoh. Aristoteles mengatakan bahwa batu yang jatuh bergerak makin cepat karena makin senang rasa batinnya ketika makin dekat ke bumi dari mana batu itu berasal. Kau tahu nak, aristoteles itu seorang filsuf besar sepanjang zaman?

Tapi pak, saat ujian jawaban yang salah kan nilainya minus, lalu gimana nilai rapor saya, hancur dong pak.

Inilah paradigma yang menjadi salah satu biang kerok hancurnya nilai dan moral di pendidikan. Nilai di rapor dan nilai di ijazah menjadi dewa dan tujuan utama, semua berubah menjadi pemuja angka di atas kertas. Bukan hanya siswa yang begitu, orangtua juga, guru dan sekolah juga begitu, bahkan sistem pendidikan secara keseluruhan juga seperti itu. 

Nilai yang tinggi di rapor menjadi dewa penyelamat siswa saat naik ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dewa penyelamat buat kelas 3 SMA yang hendak melanjutkan study ke jenjang Perguruan Tinggi Negeri, diterima melalui jalur SNM PTN yang menggunakan rapor sebagai penilaian. Nilai rata-rata UN harus minimal sekian agar berhak mendaftar mengikuti seleksi masuk Akpol. Dibutuhkan tenaga kerja lulusan PTN ternama dengan syarat IP kumulatif minimum 3, itu berita iklan lowongan. Nilai manusia tereduksi ke angka berbasis sepuluh di kertas.

Bukan untuk mengatakan bahwa nilai di rapor dan di ijazah tidak penting, bahkan saya katakan sangat perlu. Rapor dan ijazah itu sangat perlu, apabila nilai yang tertera di sana didapatkan melalui proses yang jujur dan kompeten. Yang saya maksud dengan jujur dan kompeten bukan hanya tentang siswa, tetapi menyangkut guru, menyangkut sekolah, orangtua, pemerintah dan kebijakan yang dibuatnya, dan lain-lain.

Apakah nilai rapor dan nilai ijazah saat ini tidak bisa dipercayai?. Bagaimana bisa saya percaya jika banyak saya temukan di rapor siswa nilai mata pelajaran fisika 9, tetapi siswa tersebut tidak bisa sekedar mengkonversi satuan? bagai mana bisa kita percaya jika di rapor siswa SMA kelas tiga pada mata pelajaran matematika tertulis 9, tetapi soal (1/2) -- (1/7) + 2 tidak bisa diselesaikan dengan benar?..... ayo.

There's something wrong ... ya itu tadi, mendewakan nilai di rapor dan di ijazah, abai terhadap proses.

'2. Dampak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun