Untuk Anna.
Aku sudah berdongeng macam-macam tentang makanan. Ndak lengkap rasanya kalau ndak nulis soal beverages. Sebenarnya  banyak sekali pilihan. Mulai beragam kopi kegemaranku, baik yang berbasis Robusta, Arabica, maupun Liberica.
Ada juga ekstraksi macam-macam buah liar (mungkin yang di kitab suci itu digambarkan pohonnya  tumbuh di surga: di tepian sungai berair jernih, buahnya rendah hampir menyentuh tanah) macam Ucen, Ranti, dan Ciplukan.
Seduhan rempah jangan dikata. Walau disalahpahami sebagai biang penyakit datangnya bangsa-bangsa Eropa mengobrak-abrik tanah Nusantara, di lidahku rempah punya cerita beda. Salah satunya sebagai agen penyeimbang bertebarannya patogen di tengah kondisi alam yang memang ideal untuk segala rupa hidupan.
Belum lagi betapa kayanya bangsa ini dengan ragam minuman berbasis buah-buahan, padi-padian, palma... Dan masih banyak lagi minuman surgawi yang barangkali butuh semacam taksonomi khusus untuk memilah-milah definisi dan hikayat-hikayat di baliknya.
Cuma sedari awal, ada kisah terpendam yang terus menerus memberontak minta dikabarkan. Sesuatu yang sengaja kusimpan jauh di labirin kenangan. Tak gampang menulisnya jadi sebuah dongeng. Sebab, sampai hari ini aku masih hidup bersamanya, membersamai eksistensinya. Lebih dari semua alasan, jujur itu butuh keberanian.
Tapi mari, biar kucoba. Kuletakkan di penghujung buku kecil ini sebagai salam perpisahan. Judulnya tak diberi bernomor, sebab Racun Jingga bukan sekuensi linier dalam perjalanan hidupku. Ia adalah belokan patah, episode jatuh dan luka yang niscaya menyertai setiap perjalanan. Semacam mimesis kutuk pohon larangan.
Jadi, sebelum lanjut membaca, sediakan sedikit ruang untuk permaafan. Seandainya itu nanti terlalu agung untuk diberikan, Â caci maki atau bahkan kutukan pun dipersilahkan. Atau, kalau sampean phobia pada kegelapan, sebaiknya berhentilah sampai di sini saja.
***
Kita mulai perjalanannya.