Beberapa sektor justru menunjukkan pola pembiayaan yang ekstrem bahkan ada yang menerima terlalu banyak, dan ada yang justru kekurangan.
Contohnya, sektor pertambangan dan penggalian mengalami lonjakan kredit luar biasa: dari Rp32 triliun pada 2020 menjadi Rp175 triliun pada 2024 dan  Rp197 triliun pada 2025 (Juli), sementara PDB sektor ini hanya naik dari Rp790 triliun ke Rp955 triliun pada tahun 2024.Â
Rasio yang jauh lebih besar di sisi pembiayaan dibandingkan nilai tambahnya menandakan adanya overfinancing. Modal besar mengalir ke sektor yang belum tentu menghasilkan pertumbuhan ekonomi nyata.Â
Sementara itu, sektor konstruksi dan akomodasi makanan justru kekurangan dukungan pembiayaan atau underfinancing. Kredit konstruksi hanya tumbuh tipis dari Rp373 triliun ke Rp400 triliun pada 2024 dan Rp399 triliun pada 2025 (Juli), padahal PDB sektor ini naik dari Rp1.072 triliun menjadi Rp1.262 triliun.
Padahal sektor-sektor ini dikenal padat karya dan berperan penting dalam menciptakan lapangan kerja.
Artinya, arah penyaluran dana bank belum sepenuhnya sejalan dengan kebutuhan ekonomi riil.
Pola yang Berubah: Dari Uang ke Kredit
Jika ditarik ke belakang, hubungan antara uang primer, kredit, dan pertumbuhan ekonomi telah berubah. Pada masa pandemi, uang primer menjadi kunci untuk menjaga sistem keuangan tetap hidup. Bank Indonesia kala itu "menggelontorkan" likuiditas agar bank tidak kekurangan dana.
Namun kini, efeknya tidak lagi sebesar dulu.
Kredit yang disalurkan ke sektor produktif terbukti punya pengaruh lebih besar terhadap PDB ketimbang sekadar memperbanyak uang beredar.