Mohon tunggu...
Joko Yuliyanto
Joko Yuliyanto Mohon Tunggu... Penulis - Esais

Penulis buku dan penulis opini di lebih dari 150 media berkurasi. Penggagas Komunitas Seniman NU dan Komunitas Partai Literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jakarta dan Potret Budaya Islam Nusantara

16 Mei 2023   12:00 Diperbarui: 16 Mei 2023   12:07 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makanan Betawi | pixabay.com/ignartonosbg

Kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan rupanya tidak menurunkan popularitas DKI Jakarta sebagai metronom ekonomi nasional. Potret Jakarta sebagai simbol bhineka tunggal ika tercermin dari banguan peradaban keanekaragaman suku, kepercayaan, dan pandangan hidup. Pluralitas yang menyerap nilai dan norma dari berbagai daerah di Indonesia seharusnya menjadikan Jakarta sebagai miniatur nusantara.

Namun, pandangan negatif tentang Jakarta masih melekat akibat politik identitas beberapa tahun lalu yang berdampak polarisasi di masyarakat hingga saat ini. Jakarta masih menjadi primadona politik untuk mengangkat citra tokoh dan kelompok tertentu. Selain peran media massa (yang mayoritas berdomisili di Jakarta) sebagai ujung tombak elektabilitas dan popularitas.

Budaya multikultural menjauh dari citra Jakarta ketika sensitivitas politik dan agama masih menjadi "produk jual-beli demokrasi". Risiko kehilangan kebudayaan asli (betawi) dan lebih terlihat sebagai kelompok homogen dalam menentukan sikap politik dan keagamaan. Ketidakmampuan melindungi Jakarta dari benturan budaya dan sosial masyarakat menyebabkan kota tersebut hanya dijadikan "jajahan" imigran dari berbagai daerah di Indonesia.

Bahkan, kebetawian Jakarta sudah tidak lagi ramai dipromosikan seperti kuliner kerak telur, semur jengkol, hingga lontong sayur. Demikian halnya dengan budaya seperti ondel-ondel, lenong, palang pintu, hingga tanjidor. Dominasi kelompok imigran berpengaruh terhadap pola pikir dan perilaku masyarakat asli Jakarta. Anggapan kuno tentang budaya asal (daerah) yang membuat lunturnya kecintaan dan kebanggaan pada budaya lokal.

Dari ragam budaya dan latar belakang masyarakat, seharusnya melatih kedewasaan bersikap perihal perbedaan. Menjadi percontohan kota toleran tanpa sekat kesukuan, status sosial dan ekonomi, dan latar belakang pendidikan. Menjadikan Jakarta bukan hanya pusat industri, melainkan juga pusat kebudayaan.

Saat ini, masayarakat Jakarta, khususnya pemerintah daerah perlu membereskan masalah tata ruang seperti banjir dan kemacetan. Jakarta harus kembali menjadi rumah bagi imigran untuk dikenalkan budaya betawi, bukan malah memusnahkannya dan mengganti dengan produk budaya impor. Generasi muda punya tanggung jawab bagaimana mempromosikan kebudayaan daerah di era transformasi teknlogi digital.

Lompatan Kebudayaan

Ada hal yang meresahkan tentang nasib budaya bangsa. Variabel abstrak yang kurang diperhatikan banyak elemen masyarakat. Masih ambigu untuk mengukur kemajuan bangsa dari kualitas kebudayaannya. Dampaknya lunturnya kebudayaan bangsa yang ditandai dengan maraknya penggunaan teknologi digital. Membanjirnya informasi yang mempengaruhi transfigurasi kebudayaan.

Kecepatan laju teknologi memaksa semua generasi segera beradaptasi untuk dapat bertahan hidup. Kebudayaan Generasi Baby Boomers hingga Generasi Alpha dituntut setara. Penghormatan terhadap pengalaman generasi sebelumnya tidak lagi menjadi parameter kemajuan bangsa. Sementara generasi lama tertatih mengikuti pola hidup dan kebudayaan kekinian.

Lompatan kebudaayaan terjadi karena ketidaksiapan mental masyarakat terhadap kemajuan teknologi. Sebelum era teknologi (fase industri), perubahan kebudayaan masih bisa diikuti. Guru masih menjadi panutan dalam membagikan ilmu. Saat ini, tersebarnya berbagai informasi pengetahuan mereduksi kualitas guru hingga orang tua.

Anak-anak meninggalkan ajaran kebudayaan generasi sebelumnya. Menentukan masa depannya sendiri dengan mengaktualisasikan diri dalam industri digital. Peluang yang ditawarkan dunia maya mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat tentang pandangan nilai, norma, dan adat. Moralitas sedikit diabaikan untuk lebih berfokus pada kepentingan ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun