Semua bentuk trauma personal akibat kesedihan dialami secara konkret oleh individu singular, tetapi akibat dari trauma akan terasa di dalam resonansi rasa kemanusiaan. Secara sosial, kesedihan tidak lagi dipandang sebagai trauma kolektif yang membutuhkan empati dan simpati dari yang lain. Namun secara tidak disadari, manusia dihantui kesedihan kolektif yang kerap bersembunyi di balik ekspresi kebahagiaan.
Mengolok-olok kesedihan orang lain merupakan sikap ketidakmampuan manusia mengendalikan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual dalam dirinya. Dalam alam bawah sadarnya, kesedihan orang lain adalah teman yang sama-sama menjalani trauma. Bekas kesedihan masa lalu akan membawa manusia pada dimensi suka mencelakakan orang lain dan bahagia melihat kesedihan yang dialami.
Dampak trauma sosial akan membawa manusia pada bentuk prasangka negatif terhadap etins, agama, dan kelompok minoritas. Kemudian faktor politik, ekonomi, dan benturan budaya melahirkan konflik dan sikap amoral di masyarakat.
Entitas sosial tidak berupaya menyembuhkan kesedihan orang lain, namun justru mengeksploitasinya. Trauma seharusnya dihilangkan (dilupakan), tetapi sebagian orang justru memaksa korban mengingat kembali masalah yang pernah dialaminya. Mengoontenkan dan mengomersilkan untung keuntungan pribadi. Anehnya, aktivitas tersebut justru dijadikan hiburan publik.
Perundungan sosial atas kesedihan orang lain menjadi potret kemanusiaan saat ini. Meski dianggap remeh, setiap orang punya tingkat kesedihan masing-masing terhadap realita yang dialaminya. Kadang membekas dan menjadi trauma. Namun kebanyakan, masyarakat tidak mempedulikan perasaan korban selain menjadi bahan komedi di ruang publik.***