Mohon tunggu...
Joko Yuliyanto
Joko Yuliyanto Mohon Tunggu... Penulis - Esais

Penulis buku dan penulis opini di lebih dari 150 media berkurasi. Penggagas Komunitas Seniman NU dan Komunitas Partai Literasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Wong Cilik dan Wong Gede

10 Oktober 2022   13:24 Diperbarui: 10 Oktober 2022   13:25 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
partai wong cilik | twitter.com/@puanmaharani_ri

Pencitraan politik menggunakan istilah wong cilik tampaknya masih menjadi primadona pemilihan umum. Tokoh dan partai politik kerap memakai idiom wong cilik sebagai basis massa mayoritas bangsa Indonesia. Bahkan melekatkan diksi tersebut dalam kesatuan partai: partainya wong cilik.

Wong cilik merupakan istilah dalam Bahasa Jawa yang berarti "orang kecil". Menggambarkan keadaan masyarakat miskin (kurang mampu) yang didominasi pekerja kelas bawah. Simbolisasi wong cilik biasanya ditujukan kepada masyarakat pedesaan atau pinggiran kota yang jauh dari bingar kekuasaan dan kekayaan material. Dominasi masyarakat menengah bawah yang membuat tokoh politik memanfaatkan nama wong cilik untuk menggaet massa saat pemilu.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang pertama memproklamirkan sebagai partai wong cilik dengan implementasi aksi tokoh-tokoh strategis (pemangku kebijakan) terlibat aksi blusukan. Joko Widodo, Ganjar Pranowo, dan Risma Tri Maharini adalah segelintir tokoh PDIP yang aktif berinteraksi dengan masyarakat bawah.

Anak pimpinan partai sekaligus ketua DPR RI, Puan Maharani memantik isu eksploitasi istilah wong cilik ketika pamer kesederhanaan di "warung pecel" bersama ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Puan juga menambahkan idiom partainya wong sandal jepit untuk menambah kesan melarat dan menarik sisi empati masyarakat (rasa iba).

Namun citra PDIP sebagai simbol partai wong cilik mulai memudar ketika Jokowi menjadi presiden selama dua periode. Kemudian kehadiran sosok sentral Puan Maharani yang berkuasa di parlemen. Gairah memperjuangkan nasib masyarakat miskin menghilang dengan pengesahan berbagai kebijakan yang justru menyengsarakan rakyat.

Sebelum ramai kenaikan Bahan Bahar Minyak (BBM), Jokowi kerap mendapat aksi demonstrasi terkait kebijakan yang tidak memihak rakyat seperti UU Perlindungan Pekerja/Buruh, Upah Minimum Regional (UMR), kenaikan iuran BPJS, larangan ekspor minyak, hingga genosida kebijakan nelayan. Seolah ketika berkuasa, tokoh politik lupa semua janji dan atraksi pencitraan semasa kampanye.

Tidak merasa tergelitik dengan suara sumbang kegagalan merepresentasikan partai wong cilik, tokoh-tokoh politik yang berkuasa malah sibuk merayakan euforia demonstrasi menolak kenaikan harga BBM. Esensi politik adalah siasat mengelabuhi rakat, kebetulan wong cilik merupakan kantong suara terbesar karena dianggap gampang dibodohi oleh bualan politikus partai.

Partai Wong Gede

Dikotomi wong cilik adalah wong gede sebagai pengejawantahan dari kekuasaan, kekayaan, dan popularitas seseorang. Jurang pembatas keduanya disandarkan pada kondisi ekonomi seseorang. Namun masyarakat kerap dijadikan alat bagi mereka yang tidak masuk dalam kategori miskin untuk berkampanye. Padahal kekayaan tokoh-tokoh partai yang duduk di parlemen atau di pemerintah jauh dari kata wong cilik apalagi sandal jepit yang mungkin hanya difungsikan saat hendak beribadah.

Apa yang diharapkan wong cilik dari keberadaan partai yang pura-pura berpihak kepadanya, selain amarah karena merasa dibohongi saat kampanye?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun