Selanjutnya upacara panggih yang akan dilakukan setelah ijab atau akad nikah (bagi pemeluk agama Islam) atau sakramen bagi pemeluk agama Nasrani (Kristen dan Katolik). Acara panggih digelar secara berurutan.Â
Konsep rangkaian pernikahan dari ijab sampai selesai disebut resepsi. Biasanya di akhir prosesi pernikahan disediakan acara hiburan dangdut koplo atau organ tunggal untuk pemuda atau masyarakat yang membantu selama upacara pernikahan.
Namun, sebelum berpesta di acara resepsi, masyarakat Klaten rupanya masih memegang erat mitos atau kepercayaan adat. Masyarakat Klaten masih mempercayai perhitungan hari baik dan buruk dalam acara dan ritual pernikahan. Weton (pasaran Jawa dari hari lahir) masih dijadikan landasan cara menghitung kecocokan pernikahan yang kemudian disebut neptu.
Kemudian lamaran sebagai simbol permohonan dari keluarga pengantin pria kepada keluarga pengantin wanita. Sebagai orang tua dari anak laki-laki akan mengutus dua atau empat orang untuk menanyakan pertimbangan baik dan buruk kepada pihak keluarga perempuan. Dibahas juga mengenai acara dan ritual pernikahan atau mantu sebagai kehormatan dan wibawa keluarga.
Mantu berasal dari istilah mengantu-antu (saat yang ditunggu-tunggu). Orang yang pertama kali menikahkan anaknya dinamakan mantu sapisan (mantu yang pertama).Â
Orang Jawa menyebutnya sebagai mbukak kawah (membuka jalan). Sedangkan mantu anak bungsu disebut mantu ragil atau tumplak punjen (simbol menumpahkan isi punjen sebagai bentuk rasa tanggung jawab orang tua).
Setelah itu prosesi siraman, midodareni, ijab kabul, panggih temanten, ngidak tigan dan wijik sekar setaman ( menginjak telur dan mencuci dengan air kembang setaman), adicara sinduran dan kacar kucur, dan pangkon timbang dan dhahar saklimah. Itulah sekelumit prosesi upacara adat pernikahan di Klaten.
Meski terkesan ribet, namun budaya pernikahan Jawa memberikan kenangan ketika sudah berumahtangga. Apalagi didasarkan pada pemahaman filosofi setiap rangkaian atau ritual pernikahan.Â
Bahwa terciptanya budaya atau adat sebab adanya kebiasaan di antara masyarakat dulu yang dianggap baik, dicatat dan diaktualisasikan. Itulah kenapa masih banyak masyarakat Klaten yang masih menjalankan ritual tersebut, meski anak-anak mudanya tidak begitu paham rangkaian prosesi pernikahan beserta filosofinya.
Dari ajaran dan makna tersirat budaya pernikahan Jawa, agaknya tidak bersinggungan dengan prinsip agama. Soalnya masih banyak persepi yang membentukan ajaran spiritual dengan konsep kebudayaan, termasuk prosesi pernikahan. Padahal sebagai generasi penerus bangsa, seyogyanya turut aktif melestarikan kebudayaan. Minimal bersedia menjalankan ritual pernikahan yang dianggap rumit.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI