Hubungan Ilmu Pengetahuan Dengan Moral (Agama)
Ilmu dan moral adalah dua kata yang memiliki makna berbeda namun sebenarnya kedua makna kata tersebut saling melengkapi dan berhubungan erat dengan kepribadian seseorang. Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Ketika Copernicus (1473—1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa "bumi yang berputar mengelilingi matahari" dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama.
Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Ketika ilmu dapat mengembangkan dirinya, yakni dari pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif disusul penerapan-penerapan konsep ilmiah ke masalah-masalah praktis atau dengan perkataan lain dari konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang berupa teknologi, konflik antara ilmu dan moral berlanjut. Seperti kita ketahui, dalam tahapan penerapan konsep tersebut ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, tetapi lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Bertrand Russel menyebut perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap “kontemplasi ke manipulasi” . Dalam tahap manipulasi ilmu, masalah moral muncul kembali. Jika dalam kontemplasi masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah atau secara filsafat dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologis keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Aksiologi itu sendiri adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Filosof beragama biasanya menempatkan kebenaran berpikir manusia berada di bawah kebenaran transenden. Sebagai sebuah produsen moralitas dan etika, tak bisa disangkal bahwa doktrin agama akan mengarahkan seseorang untuk merefleksikan penemuan atau penciptaan sebuah ilmu. Euthanasia, aborsi, kloning dan penerbangan ke bulan atau produksi tenaga nuklir merupakan beberapa contoh hasil perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk menciptakan tatanan manusia yang lebih baik dan beradab, Ketidakmanusiaan merupakan pelanggaran terhadap etika seorang ilmuwan. Profesi dokter di Indonesia misalnya, terbatasi oleh etika-aturan yang terakumulasi dalam etika profesi dokter. Tidak dibenarkan, misalnya, seorang dokter yang sedang melakukan penelitian virus HN51 menyebarkannya ke lingkungan masyarakat sekitar untuk mencari obat penawarnya.
Definisi Ilmu Pengetahuan
Adapun beberapa definisi ilmu menurut para ahli diantaranya adalah :
- Ashley Montagu, menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.
- Harsojo menerangkan bahwa ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan dan suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia. Lebih lanjut ilmu didefinisikan sebagai suatu cara menganalisis yang mengijinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk : “ jika …. maka “.
Pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai matafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, tanpa memiliki metode, dan mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error dan berdasarkan pengalaman belaka.
Berdasarkan definisi di atas terlihat jelas ada hal prinsip yang berbeda antara ilmu dengan pengetahuan. Ilmu adalah kumpulan pengetahuan. Namun bukan sebaliknya kumpulan ilmu adalah pengetahuan. Kumpulan pengetahuan agar dapat dikatakan ilmu harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang dimaksudkan adalah objek material dan objek formal. Setiap bidang ilmu baik itu ilmu khusus maupun ilmu filsafat harus memenuhi ke dua objek tersebut.
Objek material adalah sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran (Gegenstand), sesuatu hal yang diselidiki atau sesuatu hal yang dipelajari. Objek material mencakup hal konkrit misalnya manusia,tumbuhan, batu ataupun hal-hal yang abstrak seperti ide-ide, nilai-nilai, dan kerohanian. Objek formal adalah cara memandang, cara meninjau yang dilakukan oleh peneliti terhadap objek materialnya serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Objek formal dari suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya dari bidang-bidang yang lain. Satu objek material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandangan sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda-beda.
Ilmu pengetahuan itu ialah hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam suatu system mengenai hukum-hukum tentang hal ikhwal yang diselidikinya (alam, manusia, dan juga agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran manusia yang dibantu penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksperimental.
Definisi Agama
Agama pada umumnya dipahami sebagai :
- Satu system credo ( tata keimanan atau tata keyakinan ) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia.
- Satu system siyus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya mutlak itu.
- Satu system norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaksud diatas.
Istilah lain bagi agama ini yang berasal dari bahasa arab, yaitu addiin yang berarti : hukum, perhitungan, kerajaan, kekuasaan, tuntutan, keputusan, dan pembalasan. Kesemuanya itu memberikan gambaran bahwa addiin´ merupakan pengabdian dan penyerahan, mutlak dari seorang hamba kepada Tuhan penciptanya dengan upacara dan tingkah laku tertentu, sebagai manifestasi ketaatan tersebut (Moh. Syafaat, 1965).
Menurut M. Natsir agama merupakan suatu kepercayaan dan cara hidup yang mengandung faktor-faktor antara lain :
a. Percaya kepada Tuhan sebagai sumber dari segala hukum dan nilai-nilai hidup.
b. Percaya kepada wahyu Tuhan yang disampaikan kepada rosulnya.
c. Percaya dengan adanya hubungan antara Tuhan dengan manusia.
d. Percaya dengan hubungan ini dapat mempengaruhi hidupnya sehari-hari.
e. Percaya bahwa dengan matinya seseorang, hidup rohnya tidak berakhir.
f. Percaya dengan ibadat sebagai cara mengadakan hubungan dengan Tuhan.
g. Percaya kepada keridhoan Tuhan sebagai tujuan hidup di dunia ini.
Sementara agama islam dapat diartikan sebagai wahyu Allah yang diturunkan melalui paraRosul-Nya sebagai pedoman hidup manusia di dunia yang berisi Peraturan perintah dan larangan agar manusia memperoleh kebahagaian di dunia ini dan di akhirat kelak.
Konsepsi Agama Dalam Al-Qur’an Surat Al-Bakoroh 208, Allah berfirman :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu kedalam islam secara utuh, keseluruhan(jangan sebagian-sebagaian) dan jangan kamu mengikuti langkah setan, sesunggungnya setan itu musuh yang nyata bagimu.
Kekaffahan beragama itu telah di contohkan oleh Rosulullah sebagai uswah hasanah bagi umat islam dalam berbagai aktifitas kehidupannya, dari mulai masalah-masalah sederhana (seperti adab masuk WC) samapi kepada masalah-masalah komplek (mengurus Negara).
Ilmu dan moral
Perkembangan ilmu tidak pernah terlepas dari ketersinggungannya dengan berbagai masalah moral. Baik atau buruknya ilmu, sangat dipengaruhi oleh kebaikan atau keburukan moral para penggunanya. Peledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat, merupakan sebuah contoh penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah maju pada zamannya. Pada dasarnya masalah moral, tidak bisa dilepaskan dari tekad manusia untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran. Moral sangat berkaitan dengan nilai-nilai, serta cara terhadap suatu hal.
Pada awal masa perkembangannya, ilmu seringkali berbenturan dengan nilai moral yang diyakini oleh masyarakat. Oleh karena itu, sangat banyak ilmuwan atau ahli filsafat yang dianggap gila atau bahkan dihukum mati oleh penguasa pada saat itu. Nicholas Copernicus, Socrates, John Huss, dan Gallileo Gallilei adalah beberapa contohnya. Selain itu ada pula beberapa kejadian dimana ilmu harus didasarkan pada nilai moral yang berlaku pada saat itu, walaupun hal tersebut bersumber dari pernyataan-pernyataan di luar bidang keilmuan (misalnya agama).
Karena berbagai sebab diatas, maka para ilmuwan berusaha untuk mendapatkan otono- mi dalam mengembangkan ilmu yang sesuai dengan kenyataan. Setelah pertarungan i-deologis selama kurun waktu 250 tahun, akhirnya para ilmuwan mendapatkan kebebas-an dalam mengembangkan ilmu tanpa dipengaruhi berbagai hal yang bersifat dogmatik.
Kebebasan tadi menyebabkan para ilmuwan mulai berani mengembangkan ilmu secara luas. Pada akhirnya muncullah berbagai konsep ilmiah yang di-kongkretkan dalam ben-tuk teknik. Yang dimaksud teknik disini adalah penerapan ilmu dalam berbagai peme-cahan masalah. Yang menjadi tujuan ialah bukan saja untuk mempelajari dan mema-hami berbagai faktor yang berkaitan dengan masalah-masalah manusia, tetapi juga untuk mengontrol dan mengarahkannya. Hal ini menandai berakhirnya babak awal ketersinggungan ilmu dengan moral.
Pada masa selanjutnya, ilmu kembali dikaitkan dengan masalah moral yang berbeda. Yaitu berkaitan dengan penggunaan pengetahuan ilmiah. Maksudnya terdapat beberapa peng- gunaan teknologi yang justru merusak kehidupan manusia itu sendiri. Dalam menghadapi masalah ini, para ilmuwan terbagi menjadi dua pandangan.
Kelompok pertama memandang bahwa ilmu harus bersifat netral dan terbebas dari ber- bagai masalah yang dihadapi pengguna. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah meneliti dan menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain akan menggunakan pengetahuan tersebut atau tidak, atau digunakan untuk tujuan yang baik atau tidak.
Kelompok lainnya memandang bahwa netralitas ilmu hanya pada proses penemuan ilmu saja, dan tidak pada hal penggunaannya. Bahkan pada pemilihan bahan penelitian, seorang ilmuwan harus berlandaskan pada nilai-nilai moral. Kelompok ini mendasarkan pemandangannya pada beberapa hal, yakni:
1. Sejarah telah membuktikan bahwa ilmu dapat digunakan sebagai alat penghancur peradaban, hal ini dibuktikan dengan banyaknya perang yang menggunakan teknologi-teknologi keilmuan.
2. Ilmu telah berkembang dengan pesat dan para ilmuwan lebih mengetahui akibat-akibat yang mungkin terjadi serta pemecahan-pemecahannya, bila terjadi penyalahgunaan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, maka kelompok kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat manusia.
Berbicara masalah ilmu dan moral memang sudah sangat tidak asing lagi, keduanya memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Ilmu bisa menjadi malapetaka kemanusiaan jika seseorang yang memanfaatkannya “tidak bermoral” atau paling tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Tapi sebaliknya ilmu akan menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat, tentunya tetap mengindahkan aspek moral. Dengan demikian kekuasaan ilmu ini mengharuskan seseorang ilmuan yang memiliki landasan moral yang kuat, ia harus tetap memegang idiologi dalam mengembangkan dan memanfaatkan keilmuannya. Tanpa landasan dan pemahaman terhadap nilai-nilai moral, maka seorang ilmuwan bisa menjadi “monster” yang setiap saat bisa menerkam manusia, artinya bencana kemanusiaan bisa setiap saat terjadi. Kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berilmu itu jauh lebih jahat dan membahayakan dibandingkan kejahatan orang yang tidak berilmu (bodoh). Kita berharap semoga hal ini bisa disadari oleh para ilmuwan, pihak pemerintah, dan pendidik agar dalam proses transformasi ilmu pengetahuan tetap mengindahkan aspek moral. Karena ketangguhan suatu bangsa bukan hanya ditentukan oleh ketangguhkan ilmu pengetahuan tapi juga oleh ketangguhan moral warga.
Agama dan ilmu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa mengamati alam dan menggunakan akal
101. Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfa`at tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".(QS. Yunus 101)
003. Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. ( QS al-Rad, 13: 3)
yang mana kedua hal ini merupakan landasan untuk membangun ilmu pengetahuan modern. Perintah mengamati berbagai fenomena alam menuntun manusia untuk berpikir secara empiris. Dan penggunaan akal sebagai dasar dalam berpikir secara rasional. Apabila ilmu dan agama dipisahkan maka akan terjadi malapetaka seperti teknologi nuklir yang digunakan sebagai senjata perang; penggunaan bahan bakar minyak yang tidak terkendali; sistem yang tidak memanusiakan manusia; dimana nantinya akan menghancurkan peradaban manusia itu sendiri. Sejarah telah membuktikan bahwa pemisahan ilmu pengetahuan dari agama telah menyebabkan kerusakan yang tidak bisa diperbaiki. Keimanan harus dikenali melalui ilmu pengetahuan, keimanan tanpa ilmu pengetahuan akan mengakibatkan fanatisme dalam kemandekan (Abudin Nata, 2005: 6).
Dalam perkembangan ilmu yang begitu spektakuler di satu sisi dan nilai-nilai agama yang statis dan universal disisi lain dapat dijadikan arah dalam menentukan perkembangan ilmu selanjutnya. Sebab, tanpa adanya bimbingan agama terhadap ilmu dikhawatirkan kehebatan ilmu dan teknologi tidak semakin mensejahterahkan manusia, tetapi justru merusak dan bahkan menghancurkan kehidupa ilmuwan yang di atas landasan moral memilih untuk membuktikan bahwa generasi muda kita berkesadaran tinggi (dia terikat kepada generasi muda) atau membuktikan bahwa hasil pembangunan itu efektif (dia terikat kepada kebijaksanaan pemerintah) maka dalam hasil penemuannya dia bersifat netraldan membebaskan diri dari semua keterikatannya yang membelenggu dia secara sadar atau tidak. Di sini hitam dikatakan hitam dan putih dikatakan putih apa pun juga konsekuensinya bagi obyek moral yang memdorong dia untuk melakukan penelaahannya. Penyimpangan dalam hal ini merupakan pelanggaran moral yang sangat dikutuk dalam masyarakat ilmuwan. Kenetralan dalam hal diatas itulah yang menjadikan ilmu bersifat universal. Ilmu mengabdi kemanusiaan dengan menyumbangkan penemuan-penemuan yang didapatkannya lewat kegiatan ilmiah. Kemanusiaan bagi seorang ilmuwan tidak terikat oleh ruang dan bahkan tidak oleh waktu. Penemuan ilmiah tidaklah diperuntukkan bagi suatu golongan tertentu namun bagi kemanusiaan secara keseluruhan. Penemuan yang mungkin hari ini kurang relevan dan tidak ada gunanya bukan mustahil akan merupakan batu loncatan kea rah kemajuan di hari depan.
Kenetralan dalam proses penemuan kebenaran inilah yang mengharuskan ilmuwan untuk bersikap dalam menghadapi bagaimana penemuan itu digunakan. Pengetahuan bisa merupakan berkah dan mungkin merupakan kutukan tergantung bagaimana manusia memanfaatkan pengetahuan tersebut. Seorang ilmuwan tidak boleh mebiarkan Mr. Hyde berkeliaran dan bertidak sewenang-wenang dia harus ditentang dan kalau perlu harus dihancurkan. Secara moral maka ilmuwan bertanggung jawab dalam hal ini, karena bukan saja penemuannyalah yang melahirkan Mr. Hyde tersebut, namun juga karena dialah yang paling tahu bagaimana menghadapi si jahil itu.
Ada baiknya kita menyimak pesan Einstein kepada mahasiswi California Institute of Technology. Pesan itu disampaikan pada tahun 1938 atau satu tahun sebelum Einstein menulis surat historis yang melahirkan bom atom. Dia berkata bahwa tidak cukup bagi kita hanya memahami ilmu agar hasil pekerjaan kita membawa berkah bagi manusia. Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis.
Pesan itu diakhiri dengan kata-kata, “ jangan kau lupakan hal ini di tengah tumpukan diagram dan persamaan.” Sungguh suatu pesan yang patut kita renungkan karena di tengah tumpukan grafik dan rumus-rumus kadang-kadang kita lupa, semua ini untuk apa? Ternyata ilmu tidak saja memerlukan kemampuan intelektual namun juga keluhuran moral. Tanpa itu maka ilmu hanya akan menjadi Frankenstein yang akan mencekik penciptanya dan menimbulkan malapetaka.
PERSETERUAN ILMU DAN AGAMA
Hubungan ilmu (sains) dan agama adalah hubungan yang rumit tapi penting. Pertautan keduanya dalam sejarah mengalami benturan-benturan yang sulit. Peristiwa saling menghakimi satu sama lain pun terjadi secara kontinu. Hingga kini, upaya memadukan sains dan agama terus menerus dilakukan oleh berbagai agama dan berkembang di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Sejarah telah mencatat, Gereja Katolik pada tahun 1992 dibawah kepemimpinan Paus Johannes Paulus II telah mengakui kebenaran teori Galileo setelah ratusan tahun yang lalu dipersalahkan oleh dewan inkuisisi Gereja. Sebuah pertanda terhapusnya permusuhan sains dan agama. Kini, semakin disadari bahwa semangat sains juga terus mendampingi sukma agama dalam membebaskan manusia. Andai saja peristiwa pembakaran Giordano Bruno di tiang pancang di pasar bunga Roma pada tahun1600, atau dikeluarkannya undang-undang anti Copernicus pada tahun 1616, serta diadili dan divonisnya Galileo pada 1633, tidak pernah terjadi dalam sejarah, barangkali sains dan agama tidak pernah dipertentangkan dengan keras sebagaimana yang pernah terjadi. Dari zaman dahulu kala, banyak fakta – fakta tertulis yang menyatakan bahwa Ilmu pengetahuan dan agama saling bertentangan sehingga terlibat perang berkepanjangan selama berabad – abad.
Dahulu, kelompok manusia yang sangat mengagungkan ilmu pengetahuan beranggapan bahwa di dunia ini, ilmu pengetahuanlah yang berkuasa dan membentuk semuanya hingga tercipta seperti sekarang ini, Tuhan adalah sebuah energi yang menciptakan keharmonisan. Ilmu pengetahuan dianggap sebagai raja dari segala raja di bumi ini. Ilmu pengetahuan dapat menyelesaikan segala masalah yang timbul di bumi ini, kira – kira begitulah anggapan kelompok ini terhadap “ilmu pengetahuan”.
Sedangkan di kubu sekelompok manusia pemuja agama (mengagung – agungkan agama di atas segalanya), atau dapat dikatakan sebagai golongan pemuka agama (dalam hal ini yang berperan adalah hierarki agama katolik yang merupakan hierarki agama terbesar di dunia yang berpusat di vatikan), menyatakan bahwa Tuhan lah pemegang kekuasaan abadi. Ilmu pengetahuan, pada akhirnya hanya akan menghancurkan dunia dengan perkembangannya yang melaju terlalu pesat.
Karena adanya perbedaan yang sangat signifikan inilah, yang serta merta membawa perpecahan diantara dua kubu ini. Ilmu pengetahuan mulai membentuk suatu kelompok yang diperkirakan akan menguasai dunia dan menjunjung tinggi keabsahan ilmu pengetahuan itu sendiri. Kelompok ini bersifat sanagt rahasia dan diberi nama “Illuminati” yang artinya “kelompok orang – orang yang tercerahkan“. Kelompok ini terdiri dari orang – orang terpandai di Eropa yang mengabdikan diri untuk mencari kebenaran ilmiah. Persaudaraan ini berkembang dengan melibatkan banyak ilmuwan, pertemuan mereka diadakan secara berkala di suatu tempat rahasia yang diberi nama ‘gereja pencerahan‘.
Beberapa anggota Illuminati ingin melawan tirani gereja dengan kekerasan, tetapi anggota yang paling mereka hormati membujuk mereka untuk tidak melakukan itu. Dia adalah orang yang cinta damai dan ilmuwan paling ternama dalam sejarah. Dia seorang astronom yang bernasib malang, ia ditangkap dan hampir dihukum gereja hanya karena mengatakan bahwa mataharilah, bukan bumi, yang menjadi pusat tata surya. Ia dihukum karena secara tidak langsung mengatakan bahwa Tuhan menempatkan manusia bukan di pusat semesta-Nya. Dia adalah Galileo Galilei, seorang Illuminatus dan juga seorang Katolik yang taat. Galileo berusaha memperlunak pemikiran gereja terhadap ilmu pengetahuan dengan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak mengecilkan keberadaan Tuhan, tetapi malahmemperkuatnya. Ia meyakinkan bahwa ilmu pengetahuan dan agama bukanlah musuh, tetapi rekanan, yang menggunakan dua bahasa berbeda yang menceritakan kisah serupa, kisah tentang simetri dan keseimbangan …surga dan neraka, siang dan malam, panas dan dingin, Tuhan dan setan. Ilmu pengetahuan dan agama sama – sama memiliki simetri Tuhan,…pertarungan tanpa akhir antara terang dan gelap.
Sayangnya, penggabungan ilmu pengetahuan dan agama dilarangkeras oleh gereja. Penggabunagn itu, menurut gereja menghancurkan apa yang dikatakan gereja sebagai satu – satunya kendaraan yang dapat digunakan manusia untuk mengerti Tuhan. Penangkanapan Galileo itu membuat anggota Illuminati bergejolak sehingga gereja dapat mengenali beberapa orang anggota Illuminati, mereka ditangkap dan disiksa, dicap hidup – hidup di dada dengan simbol salib sebagai peringatan bagi yang lainnya agar tidak ikut bergabung dengan kelompok Illuminati.
Diluar cerita itu, jika kita lihat dengan seksama, sebenarnya, ilmu pengetahuan dan agama sama – sama mengenal Tuhan dengan baik, dan ingin mengenalkannya kepada generasi selanjutnya, hanya saja cara mengenalkannya sedikit berbeda. Ilmu pengetahuan mengenalkan Tuhan sebagai pencipta alam semesta dengan berbagai kompleksitas di dalamnya, namun tetap tersusun secara harmonis mengikuti alur yang telah ditentukan. Ilmu pengetahuan berusaha mengungkap keberadaan Tuhan dengan cara melakukan berbagai penelitian yang bertujuan menguak berbagai rahasia alam. Sedangkan agama juga mengenalkan Tuhan sebagai pencipta dan peguasa alam semesta, yang berkuasa atas setiap diri kita. Agama mengajarkan kita untuk melihat keindahan dunia ciptaan-Nya dengan selalu mendekatkan diri pada-Nya, berdoa, dan melakukan kebajikan terhadap sesama.
Dan sudah sepatutnya, perpecahan antara agama itu ditiadakan, karena pada dasarnya gama apapun adalah SAMA dimata Tuhan, tidak ada agama yang benar atau salah. Dengan demikian, manusia dapat hidup dalam kebahagiaan dan menyatu dengan keharmonisan alam semesta.
PENYALAHGUNAAN ILMU DAN TEKNOLOGI
Teknologi adalah penerapan praktis dari ilmu. Ilmu dan teknologi saling membutuhkan, tanpa ilmu tidak akan ada penerapan (aplikasi) baru untuk teknologi dan tanpa teknologi tidak akan ada yang menikmati penemuan ilmu. Ilmu pengetahuan, dan teknologi ini sangat berkaitan erat dan sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Tanpa ilmu tidak akan lahir teknologi, tanpa teknologi ilmu sulit untuk berkembang. Dengan Teknologi juga dapat melahirkan ilmu pengetahuan baru.
Manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak akan lepas dari ilmu pengetahuan dan teknologi , karena apa yang dipakai manusia, misalnya baju, perkakas rumah tangga, alat-alat elektornik adalah hasil dari pengembangan ilmu yang melahirkan teknologi. Jadi tujuan dari ilmu dan teknologi adalah untuk memecahkan masalah-masalah praktis serta untuk mengatasi semua kesulitan yang mungkin dihadapi manusia.
Teknologi diciptakan manusia untuk membantu meringankan segala aktivitas kehidupannya demi kesejahteraan manusia itu sendiri. Banyak sekali pemanfaatan teknologi yang berguna bagi kehidupan manusia, sebagaimana telah dijelaskan. Namun sebaliknya Imu dan teknologi juga akan berdampak buruk apabila manusia justru menyalahgunakannya.
Disamping memudahkan aktivitas manusia dalam memperjuangkan kelanjutan hidupnya kemajuan teknologi juga mempermudah perbuatan jahat, apabila manusia menyalahgunakannya, contohnya kendaraan bermotor memudahkan perampokan, seringkali kita lihat penjambretan dilakukan perampok sambil mengendarai motor, atau kendaraan lebih memudahnya membawa barang-barang hasil perampokan serta menjualnya ditempat yang jauh dari tempat dimana barang-barang tersebut dirampok.
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi disamping menambah pengetahuan yang luas, juga berdampak negatif, seperti televisi, film, internet dan sebagainya menyebarkan gaya hidup ideal dan konsumtif. Acara televisi yang tidak bermoral membentuk suatu generasi yang tidak bermoral. Nilai-nilai dan etika kesopanan seakan hilang begitu saja. Pornografi dan pornoaksi dan tayangan lain yang tidak mendidik membentuk individu-individu menjadi tidak beradab. Kemajuan teknologi transfortasi memajukan perjalanan banyak orang ke seluruh pelosok dunia (terutama negara-negara maju). Mereka itu yang melakukan travel dan menyebarkan gaya hidup barat sehingga menimbulkan imperialisme budaya di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Imperialisme budaya itu berbarengan dengan imperialism media massa. Cara pemberitaaan, siaran hiburan televisi, perilaku penyiaran, standar program siaran dan isi media cetak mencontoh atau dipengaruhi system media barat. Cara berpakaian perempuan meniru gaya barat yang dinamakan global life style.
Kemajuan dalam mengetahui kemampuan kognitif dan kesehatan manusia secara genetika membantu pendidikan dan program penyembuhan. Tetapi dapat disalahgunakan untuk mendiskriminasikan manusia dengan keterbatasan tertentu dan memperuncing permasalahan social, modifikasi terhadap organisme juga dapat mengarah pada pembuatan senjata biologi. Disamping hal-hal tersebut diatas, Permasalahan yang timbul akibat dari adanya kemajuan teknologi adalah adanya dampak-dampak negatif yang disebabkan oleh kemajuan teknologi tersebut diantaranya
1. Nuklir
Meledaknya bom di Hirosima dan Nagasaki mengakhiri perang dunia ke-2. akhirnya perang untuk menghentikan kekejaman, penghancuran, dan pengrusakan.
2. Polusi
Adanya bahan polusi atau polutan dapat merusak lingkungan. Timbulnya pencemaran tentu erat kaitannya atau disebabkan oleh berbagai aktifitas manusia antara lain :
a. Kegiatan-kegiatan industri, dalam bentuk limbah, zat-zat buangan berbahaya seperti logam-logam berat, zat radioaktif, air buangan panas. Juga dalam bentuk kepulan asap, kebisingan suara.
b. Kegiatan pertambangan, berupa terjadinya kerusakan instalasi, kebocoran, pencemaran buangan-buangan penambangan, pencemaran udara dan rusaknya lahan-lahan akibat pertambangan.
c. Kegiatan transportasi, berupa kepulan asap, naiknya suhu udara kota, kebisingan dari kendaraan bermotor, tumpahan-tumpahan bahan bakar kendaraan bermotor terutama minyak bumi dari kapal tanker.
d. Kegiatan pertanian, terutama akibat dari residu pemakaian zat-zat kimia yang memberantas hama seperti insektisida, pestisida, herbisida, demikian pula dengan pupuk organik.
Undang-undang Dasar 1945, pasal 31 ayat 5 yang menyatakan bahwa : “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.
Dengan demikian, konstitusi tertulis kita telah menegaskan bahwa tidak semua teknologi dapat dikembangkan di Indonesia jika tidak sesuai dengan nilai-nilai yang di anut negara dan masyarakat Indonesia. Namun demikian kecanggihan teknologi informasi kadangkala dapat menembus aturan yang ada di suatu negara, artinya hal-hal yang tidak boleh oleh negara pada kenyataannya dilakukan oleh warganya, misalnya Indonesia tidak membolehkan cloning, tetapi dengan teknologi informasi dan transfortasi warga negara Indonesia memungkinkan melakukan cloning di negara lain.
Ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia seluruhnya. Untuk mencapai sasaran tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya bahwa dalam mempelajari ilmu pengetahuan dan menggunakan teknologi setiap individu perlu ditanamkan nilai-nilai moral( agama), sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia tersebut, tidak bebas nilai atau sekuler.
Seandainya penggunaan satu hasil teknologi telah melalaikan seseorang dari zikir dan tafakur, serta mengantarkannya kepada keruntuhan nilai-nilai kemanusiaan, maka ketika itu bukan hasil teknologinya yang mesti ditolak, melainkan kita harus memperingatkan dan mengarahkan manusia yang menggunakan teknologi itu. Jika hasil teknologi sejak semula diduga dapat mengalihkan manusia dari jati diri dari tujuan penciptaan, sejak dini pula kehadirannya ditolak oleh Islam. Karena itu, menjadi suatu persoalan besar bagi martabat manusia mengenai cara memadukan kemampuan mekanik demi penciptaan teknologi, dengan pemeliharaan nilai-nilai fitrahnya. Melalui penerapan agama masalah yang berkaitan dengan penyalahgunaan ilmu dan teknologi akan dapat diselesaikan. Malah mungkin penyalahgunaan ilmu dan teknologi tidak akan timbul karena perkembangan ilmu dan teknologi selalu berada dalam batas-batas yang menjamin kesejahteraan hidup manusia dan keharmonisan lingkungan.
POSISI AGAMA DALAM PENGEMBANGAN ILMU
Masyarakat modern telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih untuk mengatasi berbagai masalah hidupnya, namun pada sisi lain ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut tidak mampu menumbuhkan moralitas (ahlak) yang mulia. Dunia modern saat ini, termasuk di indonesia ditandai oleh gejala kemerosotan akhlak yang benar-benar berada pada taraf yang menghawatirkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong dan kasih sayang sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal dan saling merugikan. Untuk memahami gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian itu, maka kehadiran agama sangatlah penting. Agama menjadi salah satu faktor pendukung dan sangat utama dalam perkembangan ilmu. Merujuk pada realita mengenai Indonesia yang memiliki penduduk (muslim) terbesar di dunia, membuktikan bahwa posisi agama di Indonesia sangat penting.
Dalam masyarakat beragama (Islam), ilmu adalah bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki adalah dari Tuhan. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan mahluk yang lain, karena manusia diberi daya berfikir, daya berfikir inilah yang menemukan teori-teori ilmiah dan teknologi. Pada waktu yang bersamaan, daya pikir tersebut menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan. Sehingga dia tidak hanya bertanggung jawab kepada sesama manusia, tetapi juga kepada pencipta-Nya.
Islam adalah agama yang amat peduli terhadap iptek, memuji jihad ulama dalam menuntut ilmu dan menyingkap hakekat dan rahasia alam ini. Cukuplah sebagai buktti bahwa kepedulian ini bahwa sifat-sifat Allah adalah Ilmu.
Kata-kata ilmu dan turunannya dalam Al-Quran disebutkan 900 kali. Diantara ayat yang menjunjung tinggi dinyatakan dalam Al-Mujaddalah 11 dan Al-Ankabut 43.
11. Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
43. Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.
Ilmu yang dianjurkan Al-Qur’an bersifat universal dan mencakup semua ilmu yang mengatur kehidupan ini dan tidak terbatas pada ilmu syariah atau tauhid saja.
Diantara hadis-hadis Nabawi yang menguatkan pentingnya ilmu adalah sabda Rasullulah SAW. Menuntut ilmu adalah kewajiban atas muslim (laki-laki), muslimah (perempuan).
Barang siapa mendaki dunia haruslah dengan ilmu, barang siapa mendaki akhirat hendaknya berilmu. Barang siapa mendaki keduanya hendaknya dengan ilmu.
Ilmu dalam pandangan Islam adalah semua pengetahuan, pemikiran dan konsep-konsep yang meyakinkan termasuk juga hukum-hukum dan pengetahuan yang pasti yang kita dapatkan lewat indera, rasa, dan pandangan mata atau lewat ilham, kasyf dan atau lewat ajaran agama yang diturunkan lewat wahyu atau cara pemikiran akal.
Tolak ukur iptek yang diperbolehkan adalam Islam diantara tolak ukurnya adalah :
Pertama, pasti dan meyakinkan artinya, ilmu yakin ini bisa didapat dengan ilmu empiris atau argumentasi akal, kasyf dan terkadang dicapai melalui berita yang yakin kebenarannya seperti dalam surat Al Isra : 36 dan An Najm:28, Yunus : 29
36. Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Al-Isra 36)
28. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran. (An-Najm : 28)
29. Dan cukuplah Allah menjadi saksi antara kami dengan kamu, bahwa kami tidak tahu-menahu tentang penyembahan kamu (kepada kami)".
Namun, perlu juga diingat bahwa ikatan agama yang terlalu kaku dan tersetruktur kadang kala dapat menghambat perkembangan ilmu. Karena itu, perlu kejelian dan kecerdasan memperhatikan sisi kebebasan dalam ilmu dan sistem nilai dalam agama agar keduanya tidak saling bertolak belakang. Disinilah perlu rumusan yang jelas tentang ilmu secara filosofis dan akademik serta agama agar ilmu dan teknologi tidak menjadi bagian yang lepas dari nilai-nilai agama dan kemanusiaan serta lingkungan. Ilmu Di Dalam mengembangkan ilmu dan teknologi seharusnya bermanfaat mencari keredhaan Allah. Ini hanya boleh dicapai melalui aplikasi agama dalam ilmu dan teknologi . Maka langkah awal ialah agama perlu diintegrasi ke dalam ilmu dan teknologi untuk memastikan ilmu dan teknologi tidak lari dari manfaat asal kejadian manusia. Ini juga didorong oleh faktor bahwa agama itu tidak terikat dengan ilmu dan teknologi.
Agama mengajar seseorang untuk hidup bertujuan. Tujuan beragama adalah untuk menjamin / mendapatkan kesejahteraan di akhirat dalam kepatuhan di dunia. Setiap amalan yang dilakukan di dunia harus berada di atas landasan yang diridhai oleh Allah. Telah dinyatakan dengan jelas dalam Alquran bahwa manusia adalah khalifah Allah yang bertanggung jawab untuk memelihara dan mengatur alam ini. Justru setiap urusan manusia harus memelihara keharmonisan dan keseimbangan alam. Jika perkembangan ilmu dan teknologi di atas landasan ini, maka sudah tentu perkembangan ilmu dan teknologi tidak akan merusak bumi karena setiap perkembangan ilmu dan teknologi dirancang dengan teliti. Seandainya ini terlalu bersifat idealistik, setidaknya ia dapat meminimalkan dampak negatif yang timbul karena perkembangan ilmu dan teknologi tersebut, pastinya dilakukan secara berhati-hati untuk memelihara kepentingan alam.
USULAN INTEGRASI ILMU DAN AGAMA
Pada era baru sekarang , diskursus mengenal integrasi Ilmu dan Agama makin penting dan menarik. Integrasi atau integralisme diakui sebagai salah satu ciri abad baru ini. Jika era modern menekankan spesialisasi , maka era pasca-modern justru mnekankan integrasi yang menghilangkan sekat-sekat pembatas tak hanya dalam arti fisik teritorial, melainkan juga dalam arti yang lebih luas dalam seperti hilangnya batas-batas disiplin keilmuan yang selama ini dijaga dan dipertahankan secara ketat. Pendekatan dan estimologi keilmuan cenderung bergeser dari pendekatan dikotomik-atomistik kearah pendekatan inter bahkan multidisipliner.
Dalam kontek ini , pembahasan dan pengembangan ilmu tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi selalu terkait dengan persoalan-persoalan lain, termasuk agama. Sebaliknya, pembahasan mengenai agama tidak pernah lepas dari pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari sini integrasi ilmu dan agama menjadi penting untuk dibicarakan. Ilmu yang pada hakekatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya (moral dan agama).Misalnya pertanyaan-pertanyan semacam ini menjadi penting, dan untuk menjawabnya para ilmuwan mu tak mau harus berpaling pada moral dan agama. Ini berarti diskusi mengenai integrasi ilmu dan agama merupakan sesuatu yang tak terelakkan. Dalam Islam wahyu pertama yang diterima nabi mengisyaratkan tuntutan integrasi ini. Perintah (Iqra) menghendaki pengembangan ilmu, sedangkan (bi ism rabbik), menghendaki pengembangan moral (agama). Atas dasar ini , menurut Armahedi Mahzar, pengembangan ilmu dan peradaban Islam kurun awal pada masa Bani Ummayah dan Abbasiyah bersifat integrasi (integrated). Bahkan tema integrasi (al-taufiq bain al-din wa- al- falsafah) ini menjadi issu sentral dalam pengembangan pemikiran dan filsafat Islam sejak masa Al-Kindi, yang di akui sebagai filosof muslim pertama, hingga mencapai puncaknya pada masa Ibn Rusyd.
Ketika itu, perbincangan mengenai integrasi dapat dilihat dalam pembahasan mengenai akal dan wahyu atau mengenai agama dan filsafat. Al Kindi misalnya, mencoba menemukan titik temu , interaksi atau kontak antara ilmu dan agama. Menurut Al Kindi, filsafat berbicara dan berusaha menemukan kebenaran (al Haqq). Agama juga membicarakan kebenaran yang diberikan Tuhan kepada manusia. Dalam filsafat (Islam), pembicaraan kebenaran (Tuhan) atau kebenaran yang pertama dipandang sebagai pembahasan yang paling penting. Demikian pula, Tuhan merupakan ide paling pokok dalam agama. Berikutnya, agama sendiri menyuruh manusia agar berpikir, menggunakan akal dan nalarnya secara cerdas. Oleh sebab itu menurut Al Kindi, belajar sain dan filsafat tidak dilarang dalam agama, bahkan merupakan suatu keharusan agar manusia mampu melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik.
Gagasan tentang integrasi agama dan filsafat ini terus berkembang di dunia Islam hingga mencapai puncaknya di jaman Ibn Rusyd. Filosof muslim yang bergelar “Al-Syarih” (Komentar Aristoteles) ini dikatakan telah menjawab tuntas tentang integrasi agama dan filsafat. Ibn Rusyd memberikan penjelasan tentang hubungan dan harmonisasi antara agama dan filsafat. Hubungan tersebut menimbulkan tiga kemungkinan saja.
Kemungkinan pertama, temuan akal (filsafat) sama dengan yang di ajarkan agama. Jadi dalam kasus ini tidak ada kontradiksi.
Kemungkinan ke dua, temuan akal secara lahiriah berbeda atau berlawanan dengan wahyu. Perbedan ini bisa direkonsiliasi dengan jalan ta’wil , yaitu pemikiran mendalam sehingga dicapai keselarasan. Jadi dalam kasus ini pertentangan hanya bersifat lahiriah atau permukaan. Karena bersifat lahirian maka kasus kedua ini dianggap tidak ada.
Kemungkinan Ketiga, temuan akal belum pernah disebutkan dalam nash, yaitu masalah atau pemikitan mengenai masalah yang maskut ‘anh (didiamkan alias tidak pernah dibicarakan dalam Al-Qur’an dan al-Hadist baik secara langsung atau tidak langsung). Dalam kasus yang ketiga ini, menurut Ibn Rusyd, tidak boleh dikatakan ada kontradiksi lantaran nash tidak berbicara.
Sangat disayangkan, semangat dan budaya ke ilmuan yang integrated ini praktis terhenti di kalangan muslim sunni di wilayah atau kawasan Timur Islam pada era kemunduran, yaitu sejak jatuhnya baghdad 1258 M hingga abad ke 19 atau bahkan abad 20 Masehi. Sepanjang kurun itu kultur keilmuan Islam berubah menjadi dikotomis-atomistik, yang memisahkan antara vis a vis ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum (sain dan filsafat). Pada masa ini pula., pengertian ilmu di redusir hanya menjadi ilmu agama dan penghormatan Islam kepada Ilmuwan mengalami penyempitan makna pula, yaitu hanya kepada ulama yang dalam kultur Indonesia. Menyempit kepada fakih, yakni Kiai yang menguasai hukum Islam khususnya fikih ibadat yang meliputi Thaharah, shalat, zakat, puasa, haji saja.
Pada periode Moderen kesadaran tentang perlunya integrasi atau lebih tepatnya reintegrasi ilmu dan agama dimunculkan kembali oleh para pemikir pembaharuan Islam seperti Jamaluddin al afghani, Syekh Muhammad Abduh, Sir Sayyid Ahmad Khan, Rasyid Ridha dan cendikiawan muslim lainnya. Pada era baru sekarang sejak menjelang pergantian abad XX hingga permulaan abad XXI saat ini, wacana integrasi ilmu dan agama makin muncul ke permukaan, terlebih untuk kasus Indonesia, setelah enan IAIN melakukan transpormasi menjadi UIN. Dimulai dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2002, selanjutnya UIN Suka Yogjakarya, UIN Malang, UIN Gunung Jati Bandung, UIN Alauddin Makassar dan terakhit UIN Sultan Syarif Kasim Riau. Transpormasi keenam Institusi pendidikan Tinggi Islam ini tentu dimaksudkan untuk mendorong kamajuan peningkatan penguasaan umat Islam terhadap sain dan teknologi. Disamping penguasaan terhadap ilmu-ilmu agama.
Makna dan Ruang Lingkup Integrasi
Integrasi dipahami sebagai usaha pemaduan antara ilmu dan agama, merupakan lawan dari pemisahan. Perpaduan atau keterpaduan (integrasi ) disini tidak dimaksudkan sebagai peleburan atau pencampuradukan antara ilmu dan agama, karena entitas masing-masing tetap ada dan dijaga. Identitas dari waktu keduanya, ilmu dan agama, tidaklah hilang. Integrasi adalah upaya memposisikan ilmu dan agama secara sehat dan konstruktif dalam arti kontributif bagi kemajuan ilmu dan agama bukan “ayatisasi” dengan cara mencocok-cocokkan ayat Al-Qur’an dengan temuan-temuan moderen. Yang terakhir ini disinyalir merupakan upaya integrasi yang kurang valid dan tidak konstruktif.
Untuk lebih jelas makna integrasi, perlu dikemukakan pandangan para pakar mengenai hubungan ilmu dan agama yang dapat dikelompokkan kedalam 4 bagian sebagai berikut:
Petama, pandangan yang mempertentangkan antara lmu dan agama. Keduanya, dianggap saling berlawanan bahkan saling bermusuhan. Pandangan ini dinamakan madzhab Konflik.
Kedua, pandangan yang menempatkan ilmu kepada suatu wilayah dan agama pada wilayah yang lain. Keduanya tidak ada keterkaitn danhubungan karena masing-masing berjalan sendiri – sendiri. Pandangan ini dikenal dengan madzhab independen dalam pandangan Barbour dan kontras dalam pandangan John F Haught.
Ketiga, pandangan yang melihat ada keterkaitan dan hubungan antara ilmu dan agama. Keterkaitan ini dianggap penting karena kesadaran bahwa keduanya bisa saling memberikan pengaruh. Pandangan ini dinamkan madzhab Dialog atau kontak.
Keempat, pandangan yang menekankan “pertemuan dan keterpaduan” pada “akar” yaitu asumsi metafisis keilmuan menyangkut alam yang menjadi objek kajian ilmu. Sain seperti dikatakan Golshoni, mau tak mau, mesti berasumsi bahwa alam yang menjadi objek kajiannya adalah alam yang rasional, teratur dan memiliki hukum. Pada dirinya sendiri sain tidak dapat memberikan asumsi ini. Dalam sain sekuler , ini menjadi semacam “iman” yang tak perlu dibuktikan meskipun harus diyakini. Tanpa keyakinan bahwa ada hukum yang berlaku secara teratur, maka tak ada dasar konseptual bagi pengembangan teori-teori ilmiah. Disinilah menurut Golshani, senada dengan Hught, agama dapat menjadi dasar untuk kerja sain. Pandangan ini dinamakan Madzhab Integrasi dan konfirmasi. Dari sini agama dapat dijadikan sebagai dasar dan landasan kerja ilmu, sehingga membaga kebahagiaan dan kemaslahatan bagi keduanya, ilmu dan agama. Pandangan ini dinamakan madzhab Integrasi dalam pandangan barbour dan konfirmasi dalam pandangan Haught.
Dari empat madzhab di atas, tampak jelas bahwa ide integrasi tidak mewakili dua madzhab yang pertama, konflik dan independent, tetapi mewakili dua madzhab yang terakhir, dialog dan integrasi. Meskipun sama-sama pengagas integrasi, tetapi bentuk dan model integrasi yang ditawarkan bisa beragam dan berbeda-beda. Untuk itu, berikut dijelaskan beberapa model integrasi yang pernah dicoba dan dikembangkan di dunia Islam, termasuk Indonesia.
Model-model Integrasi
Sebagai ikhtiar untuk mencapaikemajuan dalam penguasaan sain dan teknologi, agenda integrasi ilmu dan agama pada dasarnya sudah lama menjadi pembicaraan di kalangan kaum muslim, khususnya sejak gerakan reformasi dan pembaruan Islam dicanangkan di dunia Islam. Sejak abad XIX hingga sekarang. Untuk itu gagasan integrasi telah berjalan melalui empat tahap sebagai berikut :
Tahap Pertama, integrasi dalam bentuk penyadaran kepada umat Islam tentang pentingnya sain moderen bagi kaum muslim. Upaya ini telah dilakukan sejak abad XIX hingga permulaan abad XX oleh para pembaharu muslim yang mula-mula seperti Tantawi, Syekh Sayyid Jamaluddin Al-Afghani, Syekh Muhammad Abduh dll. Mereka mengembangkan paham moderen di dunia Islam dan mendorong kaum muslim agar menguasai sain moderen. Tema besar yang menjadi perhatian mereka seperti dikatakan Nazih N. Ayubi, adalah berupaya untuk memoderenkan Islam dengan menganjurkan agar umat Islam memerima dan mengambil sain dan teknologi yang menjadi pangkal kemajuan Barat.
Pada masa ini, reson yang diberikan intelektual muslim tidak tunggal. Selain kelompok yang positif seperti dikemukakan diatas, terdapat pula kelompok yang negatif alias menolak sain Barat, karena dianggap bertentangan dengan tradisi dan budaya Islam. Alasan lainnya, mereka memandang sain moderen berasal dan tumbuh di Barat, sedangkan Brat adalah kaum kafir, musuh Islam yang menjajah negeri-negeri Islam. Maka mengambil sain adalah haram, lantaran mengandung makna berteman dan bekerjasama dengan musuh. Namun seperti diketahui modernisme terus berlangsung dinegeri-negeri Islam, dan dalam perkembangannya boleh dikatakan tidak ada lagi kelompok-kelompok Islam yang menolak sain moderen. Ini berarti integrasi Ilmu dan agama pada tahap awal ini terus berlangsung. Upaya integrasi terus dilakukan, antara lain dengan memasukkan kurikulum umum ke sekolah/peruruan tinggi agama, dan sebaliknya. Inilah program integrasi yang dilakukan Syekh Muhammad Abduh sewaktu beliau menjadi Mufti pendidikan di Al-Azhar Mesir. Model integrasi ini ditiru oleh negara lain termasuk Indonesia.
Pada zamannya usaha ini dianggap penting karena sebagian besar kaum muslimin pada masa itu, masih melarang dan memandang haram sain moderen. Namum pada perkembangan lebih lanjut , integrasi model ini dianggap tidak memadai lagi. Apa yang dilakukan Abduh dianggap oleh pemikir dan pembaharu Islam sesudahnya, seperti Al Faruqi dan Fazlur Rahman, sebagai kegiatan tambal sulam yang tidakmembawa dan menghasilkan integrasi ilmu dan agama dalam arti yang sesungguhnya. Tak heran jika kemudian dalam era integrasi tahap berikutnya, yaitu Islamisasi.
Tahap kedua, yaitu Islamisasi ilmu pengetahuan sebagaimana digagas oleh Ismaail Raji al-Faruqi. Integrasi model ini didorong oleh banyak faktor, internal dan eksternal sekaligus. Secara internal , umat Islam dirasa belum beranjak dari ketertinggalannya. Upaya integrasi yang dilakukan seperti telah disingguung dimuka belum banyak membawa kemajuan. Sementara secara ekternal , kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat tidak banyak membawa berkah, tetapi laknak atau juga kutukan bagi manusia. Ini dapat dilihat dari penyalahgunaan senjata pembunuh massal, produk teknologi moderen yang digunakan dalam Perang Dunia I dan II. Belum lagi ancaman kiamat Kubro sewaktu perang dingin yang melibatkan 2 negara adidaya ketika itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ini sangat memprihatinkan dan mencemaskan , sekaligus sutu ironi. Manusia dibuat ketakutan oleh kemajuan yang diciptakan sendiri. Kata Sayyid Hossen Nashr, manusia moderen telah membakar dirinya dengan api yang dinyalakan oleh tangannya sendiri. Dampak lain adalah munculnya pola hidup baru yang bersifat materialistik, sekuralistik, dan hedonistik yang menimbulkan penjajahan dan pengrusakan terhadap alam dan ekosisem yang kesemuanya dirasakan dan mengganggu manusia. Kenyataan ini dipandang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan secara umum. Maka ilmu yang bebicara sesuatu menurut senyatanya (objektif) mulai kaitan-kaitan dengan sesuatu yang seharusnya dan seebaiknya (normatif , tuntutan moral dan agama). Mula-mula tuntutan ini berlaku pada penggunaan ilmu (aksiologi), belakangan berkembang pada aspek metafisika keilmuan (ontologi) dan epistemologinya sekaligus. Secara konseptual, integrasi model Islamisasi ini “bernafsu” untuk melakukan Islamisasi pada aspek-aspek keilmuan diatas secara fundamental.
Islamisasi ilmu, seperti telah dipaparkan sebelumnya, digagas pertama kalinya oleh Ismail Raji al-Faruqi, pemikir asal Palestina yang tinggal dan menetap di Philadelpia, Amerika Serikat. Ilmu (sain Barat) dalam pandangan Al-faruqi, haru di Islamkan, karena ditemukan banyak hal yang menyimpang dari nilai-nilai dan world view Islam. Islamisasi, bagi al-faruqi, bermakna merombak konsep dan paradigma keilmuan sesuai dengan pandangan dasar Islam baik menyangkut metafisika ilmu (ontology), metode dan cara kerja ilmu (epistemology), maupun penggunaan (aksiologi) nya. Bagi Al-Faruqi, ilmu tidak bebas nilai tetapi penuh dengan nilai-nilai dan budaya dari dan dimana ilmu itu dikembangkan. Dalam bukunya Islamization of knowladge, Al-Faruqi memaparkan langkah-langkah straegis dan teknis untuk kerja Islmisasi ini, termasuk misalnya rencana penulisan ulang buku daras (buku ajar) untuk sekolah/perguruan tinggi Islam. Untuk menddukung proyek besar Islamisasi ini, al-Faruqi membentuk International Institute of Islamic thought (III-T). Selain itu al-Faruqi, tokoh lain yang sejalan dan mendukung gagasan islamisasi ini adalah Naquib al-Atas, tokoh dan pemikir pendidikan Islam Modern dari Malaisia. Malah menurut orang-orang Malaysia, Islamisasi ilmu itu sesungguhnya adalah ide original dari al-Atas yang dicuri dan dipublikasikan oleh al-faruqi. Seperti al-faruqi, al-Atas banyak mengkritik sain Barat. Dalam beberapa tulisannya, ia menganjurkan agar dilakukan “de-westernisasi” ilmu,nistilaah yang lebih kurang sama maknanya dengan Islamisasi Ilmu. Bila al-faruqi mendirikan III-T, al-Ata membangun Institute of Islamic Science and Civilization (Istac) di Malaisia. Sesuai namanya, institusi ini dimaksudkan untuk mendukung cita-cita al-Atas,, yaitu membangun dan mengembangkan sain dan peradaban Islam yang maju dan modern.
Gagasan Islamisasi ini mendapat banyak tanggapan, baik yang pro dan kontra. Banyak yang mendukung, tetapi tidak sedikit pula yang menentang. Diantara yang menolak adalah fazlur Rahman. Bagi Rahman, Islamisasi Ilmu tidak perlu dan bahkan tidak mungkin dilakukan, karena ilmu pada dasarnya bebas nilai (Free of value), terutama pada aspek ontology dan epistemologinya. Pemberian nilai hanya mungkin pada aspek penggunaan (aksiologi)nya saja. Untuk itu menurut Rahman, Islamisasi sepeti diusulkan Al-Faruqi, tidak perlu, tetapi yang perlu dilakukan adalah menyiapkan sistem etik dan moral yang kuat untuk menangkal dampak-dampak negatif yang mungkin timbul karena kemajuan sain dan teknologi. Dalam soal ini , Harun Nasution berpandangan sama dengan Rahman. Pada kenyataannya, Islamisasi seperti diusulkan oleh al-Faruqi memaang kurang berkembang, malah terjebak dalam “ayatisasi” yaitu mencocok-cocokkan ayat-ayat al-Qur’an dengan temuan sain moderen. Usaha semacam ini, dinilai oleh kelompok yng menentang sebagai kerja yang mubazir, merupakan kerja yang kurang valid sekaligus kurang konstruktif dan produktif.
Tahap ketiga, integrasi model pengilmuan Islam. Ide ini merupakan kritik dan sekaigus antitesis dari tesa Islamisasi ilmu ala al-Faruqi. Pada pengilmuan Islam , yang dipentingkan bukan mengIslamkan ilmu, tetapi mengilmukan Islam. Dalam arti menjadikan Islam sebagai sumber gerakan keilmuan . Di Indonesia gagasan ini dimuncukan untuk pertama kali oleh Kuntowijoyo, Intelektual yaang sangat inovatif dari Yogyakarta, Ide ini dapat ditelusuri dari pandangan Kunto mengenai periodisasi Islam di Indonesia. Menurut Kunto, Islam sekarang telah bergeser dari periode ideologi ke periode Ilmu. Periode ideologi telah berakhir bersamaan dengan berakhirnya zaman Orde Baru. Pada periode Ideologi, Islam dipandang sebagai ideologi yang dilawankan dengan ideologi-ideologi lain seperti sosialisme, marxisme dan lain-lain. Perjuangan umat pada periode ini lebih bersifat politis yang ditunjukkan, antara lain, dalam cita-cita membangun dan mewujudkann negara Islam. Berlaian dengan periode Ideologi, Islam pada periode ilmu, menurut Kunto, lebih dipandang sebagai kekuatan dan gerakan keilmuan. Aktor penting pada periode ini adalah para intelektual Islam. Orientasi perjuangan umat pada periode ini, tidak bersifat politis, tetapi intelektual dalam arti membangun tradisi dan budaya keilmuan yang kuat dalam masyarakat Islam. Dari sini diharapkan lahir teori atau ilmu yang diturunkan dari premis-premis Al-Qur’an. Untuk mendukung gagasannya, Kuntowijoyo mengusulkan pengembangan epistemologi Islam yang lebih kontektual. Kunto mengkritik tradisi bayani, yang dinilai hanya berputar-putar dari teks ke teks. Tradisi bayani dianggap kurang mampu merespon perkembangan dan kemajuan zaman. Kunto mengusulkan pola pikir reflektif yang bergerak dari teks ken konteks, lalu balik lagi ke teks. Teks berarti Al-Qur’an, sedang konteks berarti perkembangan sain dan teknologi serta kondisi sosial yang timbul akibat kamajuan sain dan teknologi. Pola pikir yang bertolak dari teks ke konteks, laalu kembali ke teks, dimaksudkan untuk mendukung perumusan teori atau premis-premis hipotesis dari al-Qur’an. Pola pikir ini diharapkan Kunto dapat mendukung gagasan integrasi yang disebutnya pengilmuan Islam. Sepeninggal Kunto, gagasan ini belum banyak diperbincangkan lagi. Selain kelihatan terlalu ideal dan rumit, gagasan ini kurang didukung oleh infrastruktur keilmuan yang memadai, yaitu penguasaan umat terhadap sain moderen dan pola pikir (epistemology) reflektif-transedental yang diusung Kunto. Ditengah-tengah kemandekan ini , muncul tawaran integrasi baru yang lebih komprehensif dan mudah-mudahan lebih menjanjikan bagi kemajuan Islam.
Tahap keempat, integrasi ilmu dan agama era transpormasi STAIN/IAIN menjadi UIN. Transpormasi ini agaknya didorong oleh beberapa pertimbangan sebagai berikut :
Pertama, umat Islam masih tertinggal dalam penguasaan sain dan teknologi. Negeri-negeri Islam sekarang ini dalam klasifikasi yang dibuat oleh Bassam Tibi, intelektual muslim yang kini menetap di Jerman itu, masih tergolong “Pre-industrial Countries”, (PIC), yaitu negara-negara pra industri. Jadi negara –negara Islam hingga kini belum termasuk kelompok negara industri baru, The Newly Industrializing Countries (NIC) seperti Singapura, korea Selatan, Taiwan dll
Kedua, Studi tentang Islam kelihatannya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sains dan teknologi. Al-Qur’an sendiri, dalam bahasa Quraish shihab, memberikan kondisi psikologis yang sangat kondusif bagi kemajun ilmu pengetahuan. Al-Qur’an menyuruh kaum muslim agar mempelajari tidak saja ayat-ayat Allah yang berwujud firman (Qawliyah), tetapi juga ayat berwujud alam semesta (kawniyah). Ilmu-ilmu yang digali dari ayat-ayat qawliyah dikkelompokkan dan dinamakan ilmu-ilmu agama, sedangkan ilmu-ilmu yang kawniyah baik alam fisik maupun alam sosial dikelompokkan dan dinamakan sain dan teknologi. Keduanya diyakini tidak pernah ada kontradiksi, karena keduanya berasal dari sumber yang sama , yaitu Allah SWT. Klasifikasi ini tidak dimaksudkan untuk pemisahan, tetapi pengelompokkan sekedar untuk keperluan akademik. Umat Islam pada dasarnya harus mempelajari keduanya agar memperoleh ebaikan dalam hidupnya didunia dan akhirat.
Ketiga, untuk memahami dan apalagi menguasai kedua kelompok keilmuan di atas, maka perguruan tinggi Islam harus mempelajari dan mengembangkan kedua-duanya secara seimbang. Selama ini, perguruan tinggi Agama Islam Negeri seperti STAIN, dan IAIN, sesuai kedudukannya sebagai sekolah tinggi atau Institut , hanya mendalami kelompok ilmu-ilmu agama. Kalaupun diajarkan sain modern, khususnya ilmu-ilmu sosial dan humanities, itu dimaksudkan hanya sebagai penguat dan pendukung sehingga integrasi dalam arti yang sebenarnya tidak terjadi, akibatnya studi Islam yang ada di STAIN dan IAIN, seperti berulang kali diungkapkan oleh M Amin Abdullah, rektor UIN Yogyakarta, menjadi entitas tunggal atau menjadi entitas-entitas yang terisolasi, berdiri sendiri, terpisah dan terlepas dari sain dan teknologi modern. Bagi Amin ini merupkan sebuah kenistaan yang tidak boleh terjadi, khususnya pada masa-masa mendatang. Itu sebabnya IAIN perlu ditranspormasi menjadi UIN. Transpormasi ini menurut Amin, bukan latah atau ikut-ikutan tetapi dilandasi pemikiran yang dalam dan diskusi yang agak panjang agar umat Islam menjadi bagian dari perubahan dan kemajuan yang kini sedang berlangsung.
Meski sama-sama bertranspormasi menjadi UIN, namun model integrasi yang dikembangkan agaknya berbeda-beda antara satu UIN dengan UIN yang lain. Perbedaan ini paling tidak tampak pada penekanan (stressing) menyangkut aspek-aspek tertentu mengenai ilmu dan agama itu sendiri.
Sebagai contoh UIN Menekankan integrasi tak hanya pada tataran akademik semata, tetapi juga dalam arti kepribadian muslim yang akan dibangun. Ini dapat dilihat dari struktur keilmuan dan pembudayan akademik dan keagamaan yng dikembangkan di UIN ini. Seperti berulangkali dikemukakan oleh Imam Suprayogo, mengambil analogi Pohon. Sebuah pohon tentu memiliki akar , batang – tubuh, dhan dan ranting, hingga daun dan buah. Akar dimaknakan sebagai alat mempelajari ilmu dan agama, yaitu bahasa ( Arab Inggris) dan filsafat ilmu (Logika saintific). Batang berarti dasar-dasar agama, lalu dahan dan ranting bermakna disiplin-disiplin ilmu yang menjadi spesialisasi, dan seterusnya daun dan buah output dari ilmu, yaitu amal sholeh dan keluhuran budi pekerti (akhlakul karimah). Dengan filosofi ini, para mahasiswa setelah menempuh studi diharapkan menjadi orang-orang yang memiliki kedalaman iman, keluasan ilmu dan keluhuran budi. Mereka itulah ilmuwan dan kaum cerdik pandai yang dalam Al-Qur’an dinamakan uli al-albab, uli-al-abshar, uli al-nuha.
Berlainan dengan UIN Malang, pada UIN Yogyakarta agaknya lebih menekankan integrasi pada tataran keilmuan dan epistemology. Integrasi disini dapat dimaknai sebagai integrasi antara ilmu-ilmu agama (hadhar al-nashsh) disatu pihak dan ilmu-ilmu modern (hadharat al-‘ilm) serta hadharat al-falsafah atau humaniora, yaitu etika dan filsafat di pihak lain.12 Pada era sebelumnya menurut Amin, keilmuan yang diajarkan IAIN merupakan entitas tunggal atau entitas yang berdiri sendiri-sendiri. Pada era UIN sekarang keilmuan yang dibangun haruslah merupakan integrasi yang saling terkait satu dan yang lain antara ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu modern dan humaniora/filsafat. Etos keilmuan yang menekankan interdiciplinary, sensivitas, dan interkonektivitas antar berbagai disiplin ilmu umum dan agama dinamai Amin “Jaring laba-laba keilmuan”. Diakui oleh Amin bahwa hadharat-al-nash (penyangga budaya teks-bayani) tidak lagi bisa berdiri sendiri, terlepas sama sekali dari hadharat al-falsafah (etika) dan juga sebaliknya. Hadharat al-ilm (budaya ilmu) yaitu ilmu-ilmu empiris yang menghasilan sain dan teknologi akan tidak punya “karakter” yang berpihak pada kehidupan manusia dan lingkungan hidup, jika tidak dipandu oleh Hadharat al-falsafah (etik emansipatoris) yang kukuh. Sementara itu, hadharat al-nashsh (budaya agama yang semata-mata mengacu pada teks) dalam kombinasinya dengan hadharat al-‘ilm (sain dan teknologi) tanpa mengenal humanities kontemporer sedikitpun berbahaya karena jika tida hati-hati akan mudah terbawa arus kearah radicalishm-fundamental. Untuk itu lanjut Amin, diperlukan hadharat al-falsafah (etika yang bersifat transpormatif liberatif). Begitu pula hadharat al-falsafah (budaya filsafat) akan terasa kering jika tidak terkait dengan isu isu keagamaan yang termuat dalam teks dan lebih lebih jika menjauh dari problem-problem yang ditimbulkan dan dihadapi oleh hadharat al-‘ilm (budaya ilmu-ilmu empiris teknis). Inilah proyek keilmuan yang diemban oleh visi dan misi perubahaan IAIN ke UIN ( Institut/sendiri ke Uni/gabungan). Dengan pendekatan “interconected entities” jelas bahwa masing-masing rumpun ilmu sadar akan keterbatasan -keterbatasan yang melekat dalam diri sendiri dan karenanya bersedia untuk dialog, bekerjasama dan memanfaatkan metode dan pendekatan yang digunakan oleh rumpun ilmu lain untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang melekat jika masing-masing berdiri sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya. Diakui oleh Amin “proyek’ ini membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak, dari waktu ke waktu untuk menyongsong realisasi keilmuan era UIN.
Kesimpulan
Ilmu pengetahuan itu ialah hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam suatu system mengenai hukum-hukum tentang hal ikhwal yang diselidikinya (alam, manusia, dan juga agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran manusia yang dibantu penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksperimen
Konsepsi Agama Dalam Al-Qur’an Surat Al-Bakoroh 208, Allah berfirman :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu kedalam islam secara utuh, keseluruhan(jangan sebagian-sebagaian) dan jangan kamu mengikuti langkah setan, sesunggungnya setan itu musuh yang nyata bagimu.
Kekaffahan beragama itu telah di contohkan oleh Rosulullah sebagai uswah hasanah bagi umat islam dalam berbagai aktifitas kehidupannya, dari mulai masalah-masalah sederhana (seperti adab masuk WC) samapi kepada masalah-masalah komplek (mengurus Negara).
Mengutip sebuah kalimatnya Einstein, bahwa agama tanpa ilmu lumpuh namun ilmu tanpa agama buta. Kebutaan moral dari ilmu itu mungkin membawa manusia kejurang malapetaka. Jadi dalam kehidupan ini kedua bidang itu tak usah berseberangan, bahkan sebaliknya justru harus melengkapi satu sama lainnya. Ilmu pengetahuan dipelajari guna memperoleh penjelasan-penjelasan dari fenomena kehidupan ini, sedangkan agama memberikan kita akan tujuan makna atau arti kehidupan (fenomena) itu. Kemudian, ilmu itu berusaha menganalisa kehidupan memecah-mecah kehidupan jadi berkeping-keping memperdalam suatu masalah kehidupan ini, sedangkan agama memberikan pemahaman tunggal (sintesa) dari keberagaman fenomena yang terpampang didepan kita.
Relativitas atau kenisbian ilmu pengetahuan bermuara kepada filsafat dan relativitas atau kenisbian ilmu pengatahuan serta filsafat bermuara kepada agama.
semakin disadari bahwa semangat sains juga terus mendampingi sukma agama dalam membebaskan manusia. Andai saja peristiwa pembakaran Giordano Bruno di tiang pancang di pasar bunga Roma pada tahun1600, atau dikeluarkannya undang-undang anti Copernicus pada tahun 1616, serta diadili dan divonisnya Galileo pada 1633, tidak pernah terjadi dalam sejarah, barangkali sains dan agama tidak pernah dipertentangkan dengan keras sebagaimana yang pernah terjadi.
Ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia seluruhnya. Untuk mencapai sasaran tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya bahwa dalam mempelajari ilmu pengetahuan dan menggunakan teknologi setiap individu perlu ditanamkan nilai-nilai moral( agama), sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia tersebut, tidak bebas nilai atau sekuler.
Pada era UIN sekarang keilmuan yang dibangun haruslah merupakan integrasi yang saling terkait satu dan yang lain antara ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu modern dan humaniora/filsafat. Etos keilmuan yang menekankan interdiciplinary, sensivitas, dan interkonektivitas antar berbagai disiplin ilmu umum dan agama dinamai Amin “Jaring laba-laba keilmuan”. Diakui oleh Amin bahwa hadharat-al-nash (penyangga budaya teks-bayani) tidak lagi bisa berdiri sendiri, terlepas sama sekali dari hadharat al-falsafah (etika) dan juga sebaliknya. Hadharat al-ilm (budaya ilmu) yaitu ilmu-ilmu empiris yang menghasilan sain dan teknologi akan tidak punya “karakter” yang berpihak pada kehidupan manusia dan lingkungan hidup, jika tidak dipandu oleh Hadharat al-falsafah (etik emansipatoris) yang kukuh. Sementara itu, hadharat al-nashsh (budaya agama yang semata-mata mengacu pada teks) dalam kombinasinya dengan hadharat al-‘ilm (sain dan teknologi) tanpa mengenal humanities kontemporer sedikitpun berbahaya karena jika tida hati-hati akan mudah terbawa arus kearah radicalishm-fundamental. Untuk itu lanjut Amin, diperlukan hadharat al-falsafah (etika yang bersifat transpormatif liberatif). Begitu pula hadharat al-falsafah (budaya filsafat) akan terasa kering jika tidak terkait dengan isu isu keagamaan yang termuat dalam teks dan lebih lebih jika menjauh dari problem-problem yang ditimbulkan dan dihadapi oleh hadharat al-‘ilm (budaya ilmu-ilmu empiris teknis). Inilah proyek keilmuan yang diemban oleh visi dan misi perubahaan IAIN ke UIN ( Institut/sendiri ke Uni/gabungan). Dengan pendekatan “interconected entities” jelas bahwa masing-masing rumpun ilmu sadar akan keterbatasan -keterbatasan yang melekat dalam diri sendiri dan karenanya bersedia untuk dialog, bekerjasama dan memanfaatkan metode dan pendekatan yang digunakan oleh rumpun ilmu lain untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang melekat jika masing-masing berdiri sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya. Diakui oleh Amin “proyek’ ini membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak, dari waktu ke waktu untuk menyongsong realisasi keilmuan era UIN.