Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Fenomena Kegilaan Massal

14 November 2020   08:37 Diperbarui: 14 November 2020   08:40 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kegilaan bisa secara sederhana kita gambarkan sebagai segala perilaku tidak normal.

Mengutip encylopdia universalis, berdasarkan konteks dan situasinya, kegilaan dapat juga diartikan sebagai hilangnya akal, perlawanan terhadap kebijaksanaan dan akal sehat maupun pelanggaran atas norma-norma sosial.

Hanya beberapa hari yang lalu ada gerakan-gerakan yang menyebabkan berulang kali pengumpulan massa di Jakarta dan sekitarnya maupun di Gadog yang masih akan terjadi lagi pada Sabtu 14 November ini di Jakarta. 

Pengumpulan massa dalam jumlah besar ini, entah diijinkan atau tidak oleh yang berwenang tentu merupakan tindak pelanggaran atas hukum, aturan dan norma yang berlaku di negeri ini terkait penanganan COVID-19  sejak Maret tahun ini.

Lebih jauh lagi gerakan-gerakan pengumpulan massa ini seakan menafikan segala pengorbanan yang dilakukan berbagai pihak untuk mengatasi pandemi selama hampir 9 bulan sejak Maret yang lalu.

Pelanggaran hukum dan aturan secara massal seperti ini hanya bisa terjadi karena adanya satu kepemimpinan. Hanya pengaruh satu yang bisa mengajak ribuan atau bahkan jutaan orang melakukan pelanggaran norma secara massal seperti Pendeta Jim Jones di Guyana maupun Adolf Hitler di Jerman.

Dalam bukunya  Massenwahntheorie, atau Teori Kegilaan Massal yang ditulis antara 1939 dan 1948, novelis dan essayis Austria, Hermann Broch menggambarkan tokoh imajinasi bernama Marius Ratti, seorang nabi palsu yang melihat segalanya sebagai konflik dan kebencian antara putih dan hitam, mempertentangkan dua kutub: surga/neraka, desa/kota, sehat/sakit, baik/jahat.

Ratti, mampu memanipulasi para pengikutnya tidak hanya karena tokoh itu mengerti persis nilai nilai apa yang dipertentangkan pada masa itu tapi juga karena ia mengenal dengan baik insting-insting yang paling mendasar dan primitif dari para pemujanya. Muncul juga di pelbagai buku Broch, Ratti seperti menghipnotis pemujanya dalam berbagai tindak kriminil.

Di sisi lain, para pengikutnya mengalami apa yang disebut sebagai pemiskinan nalar yang menyebabkan mereka untuk mengangkat dan memercayai seorang pemimpin spiritual yang sanggup membawa mereka bersama sama melakukan kegilaan massal.

Apakah model fiksi kegilaan massal Broch yang sedang terjadi di negara kita? Ya, jika gerakan geakan ini secara massal terus melakukan pelanggaran hukum dan peraturan sementara pemimpinnya sama sekali tidak mengajak para pengikutnya ke arah penggunaan akal sehat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun