Mohon tunggu...
Joko Yuliyanto
Joko Yuliyanto Mohon Tunggu... Jurnalis - pendiri komunitas Seniman NU
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis opini di lebih dari 100 media berkurasi. Sapa saya di Instagram: @Joko_Yuliyanto

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengkritisi Oposisi

22 Maret 2022   13:34 Diperbarui: 22 Maret 2022   13:45 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini, hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menasbihkan diri sebagai penantang koalisi kabinet Indonesia Maju. Selebihnya menjadi partai sekutu pemerintahan dan lainnya menjadi sedikit idealis dengan mendeklarasikan sebagai partai moderat.

Harapan Jokowi mengenai konsep demokrasi gotong royong yang tidak mengenal oposisi perlu mendapat kritikan. Oposisi masih sangat penting dibutuhkan menghindari kekuasaan yang egaliter, diktator, dan otoriter. Oposisi diperlukan dalam demokrasi yang memerlukan fungsi check and balances. Kurangnya koalisi opisisi menurunkan kualitas demokrasi yang sehat. Politik hanya akan dimaknai sebagai kendaraan bagi-bagi kekuasaan.

Namun kehadiran oposisi bukan lantas dijadikan ajang pencitraan mengatasnamakan rakyat. Keberanian PKS tidak terlibat iming-iming koalisi pemerintah tidak lantas menjadi keuntungan pemilu selanjutnya. Kritikus yang cerdas tidak akan memilih partai pendukung dan oposisi tanpa pertimbangan konsekuensi kebijakan. Bahkan ada beberapa kritik pertai oposisi yang terkesan ngawur sebab merasa berada di pihak yang wajib mengkritisi setiap kebijakan.

Berani menjadi oposisi harus cerdas dan bijak menganalisis setiap kebijakan. Tidak sembrono mengkritik tanpa data dan fakta yang jelas. Apalagi agama yang dijadikan narasi berpolitik di negara yang plural. Citra partai dinilai dari kualitas kritik tokoh politiknya. Salah metode akan menjatuhkan kredibilitas partai. Kritikan yang cerdas dan bertetika akan didengarkan baik oleh penguasa dan masyarakat secara umum, kritikan dungu hanya akan menjadi beban pemerintah dan rakyat yang dijadikan tumbal pencitraan.

Era teknologi dan informasi seharusnya lebih gampang menemukan kritikus yang berkualitas daripada kritikus dungu yang hanya bermodal cacian dan umpatan tanpa pemahaman yang cukup. Rendah literasi adalah faktor utama kedunguan kritikus, kebencian politik adalah ciri kedunguan oposisi. Di negara demokrasi, kritikan juga berlaku bagi tukang kritik dan kelompok oposisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun