Mohon tunggu...
Yuniarto Hendy
Yuniarto Hendy Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Lepas di China Report ASEAN

Youtube: Hendy Yuniarto

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Fobia

3 Februari 2020   18:27 Diperbarui: 4 Februari 2020   07:45 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ujung jari-jari kaki mendadak terasa dingin, aku terbangun, pukul 7, masih gelap. Kuraba selimut, kuraih hape, kubuka portal berita, masih sama. Cahaya terang menembus sela tirai, silau, memaksaku bangkit lalu keluar kamar begitu saja tanpa merapikan ranjang, sudah biasa, malah hampir dua minggu, kusut berdebu.

Pagi ini turun salju, mendadak girang dalam hati namun tak terucap, apalagi berteriak. Masih karena situasi sekarang ini, tak menentu, masih darurat, dan membuat khawatir. Salju akan turun sampai pukul 12 siang, begitu kata ramalan cuaca. Mengapa tak ada ramalan akan datangnya situasi ini? oh ada, bukan ramalan, tapi prediksi, dipaksa untuk ditutup, namun ternyata benar-benar terjadi. Sebagian publik marah, nasi sudah menjadi bubur. Media di sini sangat berhati-hati untuk mempublikasikan berita.

Salju semakin lebat, kulihat dari jendela dua orang berpakaian rapi berjalan pelan serta anak-anak bermain riang di taman. Dua orang orang itu mau ke mana, pikirku, pergi dari sini atau baru datang. Padahal hari ini atau bahkan minggu depan belum mulai kerja kan, info yang beredar mengatakan demikian, diundur bukan dibatalkan. Masuk kerja sekarang pun tugasku belum rampung, akan disajikan akhir bulan ini.

Lebih tertarik membaca berita, di sini, juga internasional, dan yang paling penting namun kacau adalah berita di negara asal. Masih tetap sama, malah semakin kacau. Beberapa teman dan kolega saling menanya kabar, menguatkan, mengingatkan. Tentang larangan serta perintah terbaru tak luput dari perhatian, bahkan terus diulang-ulang.

Tak ketinggalan pula grup-grup WA. Postingan dan kiriman di grup keluarga, alumni, sampai grup pengajian RT, ramai gara-gara situasi ini, tentang suatu wabah virus. Panas membahas kabar gawat ini, baik yang fakta maupun hoaks, bahkan mungkin bagi sebagian besar penghuni 24 jam grup itu semua dirasana nyata, ditanggapi serius. 

Televisi, website media, dan Youtube mengabarkan hal yang sama, dengan berbagai sudut pandang, analisis, komentar, dan debat. Rumor dianalisis secara mendalam, tajam. Video hoaks dikompilasi jadi satu sajian, yang monoton, menarik penonton, hingga tak rela pindah saluran. Menyebar sampai ke grup-grup WA, bersirkulasi, kemudian ditanggapai kembali.

Sebagian sadar untuk mengecek kebenaran berita, membandingkan, serta bertanya langsung kepada yang mengalami. Namun sebagian yang lain masih sibuk berkomentar, utak atik gathuk, mencari celah, disambungkan dengan logika lain, berandai-andai. Mereka ini ternyata pandai menyambungkan mitos satu dengan mitos yang lain; juga memasukkan agama, politik, sosial, dan ekonomi.

Fakta berubah menjadi fiksi dan fiksi berubah menjadi fakta. Mitos berubah menjadi kepercayaan dan kepercayaan berubah menjadi mitos, itulah sajian berita saat ini. Saat situasi pelik ini sedang terjadi.

Ayi (panggilan untuk pelayan di apartemen) seperti biasa mengetuk pintu dengan keras, tepat waktu. Rutin dengan buku tulis sederhana dan daftar penghuni apartemen mulai dilihatnya. Lanjut memeriksa suhu badanku, dan hasilnya seperti beberapa hari yang lalu, sama, masih 37 derajat, lebih tinggi 1 derajat dibanding orang-orang di kamar lain. Ayi menyarankanku untuk membuka jendela kamar, sirkulasi udara akan lebih membuat kamar menjadi sejuk.

Memang ada benarnya, atau karena alat ukur itu salah, walaupun digital, aku tak peduli, karena aku kadang juga tak percaya timbangan badan digitalku. Ayi menulis nama dan suhu tubuh di dalam daftar, berjanji akan datang lagi siang nanti, semoga suhu badanku turun, minimal ke 36 derajat. Saat ini benar-benar mengkhawatirkan, banyak orang memang khawatir, suhu tubuh tinggi berarti siap-siap masuk kategori simtom yang dicuriagai itu, kalaupun bukan, mungkin tetap akan menginap 14 hari di rumah sakit.

Hape kembali berbunyi, berulang kali, pesan teman-teman bersimpati. Aku aman, sehat, tidak apa-apa. Oh, berita itu hoaks. Oh, berita itu aku belum lihat. Oh, berita itu aku tidak tahu kebenarannya, kuyakinkan temanku seadanya, tak perlu dilebihkan. Berita-berita terus bermunculan, menyebar di mana-mana, dan ternyata lebih mengkhawatirkan ketimbang apa yang terjadi di sekitarku, yang disiplin dan terukur. Hape berdering lagi, dari grup ini dan itu, kujawab apa adanya seperti ini, terima kasih sudah peduli.

Kekhawatiranku yang sebenarnya adalah berita, membuat panik, membiaskan realitas, menyalahkan yang tak bersalah, sampai memfitnah dan bertidak rasis. Namun rasis dalam masyarakatku memang sudah biasa, sudah ada sejak dalam pikiran. Tinggal menunggu saat yang tepat, bersembunyi di balik konflik ideologi dan agama. Kali ini rasis mendapat tempatnya, meskipun di situasi panik ini, wabah virus yang sedang melanda wilayah yang kutinggali, tidak peduli.

Mereka dituduh tertimpa azab, pendosa, seperti balas dendam yang tersalurkan, belum tuntas. Ah, ternyata tidak beda dengan virus lain, bahkan lebih parah, gumamku. Yang belum menderita tidak ketinggalan ikut didiskriminasi, dijauhi, diusir, seperti kutil yang dipaksa cabut dari kulit. Mereka dengan percaya diri membuat video berita bahwa virus saat ini sudah diramalkan ada di kitab sucinya. 

Beberapa video berseliweran di grup menunjukkan banyak orang berjatuhan terkapar, massal, dilatar belakangi musik horor, seperti menebar teror. Sebagian bertanya padaku mengecek kebenarannya, tak kubalas. Dia sudah tahu karena dia adalah seorang dosen, di kampus ternama, tapi jarang publikasi karya ilmiahnya.

Kini semua orang ahli virologi, bahkan multidisipliner, dengan teologi, sosiologi, politik internasional, dan disiplin ilmu lainnya, mengomentari dengan segala daya dan upaya. Tak jarang saling cerca, hujat, kurang puas lalu berganti akun samaran, kembali mengumpat seperti turun di medan perang komentar. Banyak juga penonton televisi tak mengalihkan saluran berita hangat ini, update terbaru katanya, breaking news alasannya, mengabarkan tentang konspirasi, kompetisi ekonomi, lengkap dengan pembicara yang dipercaya ahli di bidangnya, meskipun gelar akademisnya tidak nyambung.

Kini tidak sedikit orang yang terbawa arus, bahkan terombang ambing di gelombang berita, pada situasi ini. Aku pun tidak heran mereka terseret arus sekalipun, karena masih sering membuat mitos menjadi fakta. Tertipu pun sudah biasa dan mudah. Bukti mitos masih berlaku, laris seperti gorengan tahu.

Sudah dua minggu ini tidak bepergian ke mana-mana, hanya sebatas lingkungan komplek apartemen. Tetap waspada, juga ada kekhawatiran. Aku mandi, menyemprot minyak wangi, tidak lupa menggosok tangan pakai disinfektan alkohol 63%. Masker N95 tidak lupa kukenakan, lalu keluar dari apartemen untuk menghirup udara segar, setelah salju turun dengan lebatnya. Kuingat temanku yang merasa saat ini seperti tinggal di penjara. Ah, tidak juga. Semua adalah usaha dan kerja sama sampai semua ini bisa terlewati dengan baik, tanpa mengorbankan banyak orang. Lewatilah dengan hal-hal yang produktif.

Kulihat dari kejauhan masih ada beberapa petugas keamanan, mungkin juga ada petugas kesehatan di antaranya. Mereka berjaga dan memeriksa orang yang keluar masuk komplek. Saat ini memang terasa sangat sepi, lebih dari biasanya, karena lebih baik tetap di dalam ruangan. Itu yang selama ini dianjurkan. Deteksi awal dan isolasi awal, itu yang dianjurkan ahli virus SARS, dan aku memang lebih percaya anjuran itu, dan media lokal serta nasional di sini. Meskipun media dimiliki pemerintah, namun jelas dan tegas, memberikan keyakinan dan semangat.

Setelah menghirup udara segar di luar aku masuk kembali ke kamar, mengecek hape, kembali membaca berita-berita yang sama, tentang fobia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun