Obesitas pada Remaja merupakan masalah kesehatan masyarakat yang semakin mengkhawatirkan secara global, termasuk di Indonesia. Data menunjukkan bahwa Prevalensi obesitas pada anak dan remaja Indonesia meningkat seiring dengan proses urbanisasi dan perubahan pola konsumsi masyarakat. Fenomena ini tidak hanya dipengaruhi oleh faktor biologis dan perilaku individu, tetapi juga oleh lingkungan sosial dan fisik yang disebut sebagai lingkungan obesogenik. Lingkungan obesogenik adalah kondisi yang secara sistemik mendorong perilaku tidak sehat, seperti konsumsi makanan tinggi kalori dan gaya hidup sedentari. Dalam konteks remaja, yang sedang berada dalam fase perkembangan fisik dan psikologis, pengaruh lingkungan menjadi sangat signifikan terhadap pembentukan kebiasaan dan risiko kesehatan jangka panjang.
Obesitas pada Remaja saat ini menjadi salah satu tantangan kesehatan masyarakat yang semakin mengkhawatirkan, baik di tingkat global maupun nasional. Di Indonesia, data Riskesdas menunjukkan adanya peningkatan signifikan pada proporsi remaja usia 16--18 tahun yang mengalami kegemukan, yaitu dari 1,4% pada tahun 2010 menjadi 7,3% pada tahun 2013. Lonjakan ini menunjukkan bahwa obesitas tidak lagi hanya menjadi masalah negara maju, tetapi juga telah menjadi epidemi di negara berkembang seperti Indonesia. Kondisi ini berdampak serius karena obesitas pada remaja berhubungan erat dengan risiko penyakit tidak menular di usia dewasa, seperti diabetes mellitus, hipertensi, dislipidemia, dan penyakit kardiovaskuler. Dalam konteks ini, peran lingkungan obesogenik sangat penting untuk diperhatikan karena mampu mendorong terbentuknya perilaku makan tidak sehat serta gaya hidup sedentari yang memperparah risiko obesitas.
Konsep Lingkungan Obsegonik
Lingkungan obesogenik dapat dipahami sebagai kondisi yang memfasilitasi seseorang untuk mengonsumsi energi lebih banyak daripada yang dikeluarkan dan membatasi aktivitas fisik. Lingkungan semacam ini tidak hanya terbatas pada faktor fisik, melainkan juga mencakup aspek sosial, budaya, dan media yang memengaruhi pilihan sehari-hari individu. Penelitian menunjukkan bahwa rumah tangga dengan ketersediaan makanan tinggi kalori dan perangkat elektronik berlebih memiliki potensi besar menciptakan pola hidup obesogenik. Sejak usia dini, anak yang tumbuh dalam rumah dengan banyak Perangkat Digital lebih berisiko mengalami kenaikan indeks massa tubuh hingga usia remaja. Hal ini menunjukkan bahwa obesitas bukan semata hasil pilihan individu, tetapi juga merupakan produk dari lingkungan yang membentuk kebiasaan tersebut.
Pola Makan dan Aktifitas Fisik
Salah satu determinan utama dalam lingkungan obesogenik adalah pola makan modern yang didominasi oleh konsumsi makanan ultra-proses dan minuman manis. Studi menemukan bahwa konsumsi minuman berpemanis berhubungan signifikan dengan overweight pada remaja di Jakarta, di mana mereka yang sering mengonsumsinya memiliki risiko lebih tinggi dibanding yang jarang mengonsumsi. Tren meningkatnya konsumsi minuman bersoda, kopi kekinian dengan kadar gula tinggi, dan camilan olahan menjadi cerminan bagaimana gaya hidup remaja terpengaruh oleh ketersediaan makanan di sekitar mereka. Tidak hanya itu, rendahnya konsumsi buah dan sayur menambah parah kondisi karena berkurangnya asupan serat yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan energi tubuh. Lingkungan sekolah yang masih menyediakan jajanan tinggi gula dan lemak di kantin juga turut berkontribusi memperkuat kondisi obesogenik ini.
Selain pola makan, gaya hidup sedentari akibat rendahnya aktivitas fisik menjadi masalah lain yang memperkuat peran lingkungan obesogenik. Remaja lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar, baik untuk menonton televisi, bermain gim, maupun berselancar di media sosial. Padahal, aktivitas fisik sangat penting untuk menjaga keseimbangan energi dan mencegah akumulasi lemak berlebih.Â
Dampak Obesitas Pada Remaja
Dampak obesitas pada remaja bersifat multidimensi. Dari sisi kesehatan fisik, obesitas meningkatkan risiko resistensi insulin, hipertensi, gangguan metabolisme, dan penyakit kardiovaskuler yang dapat muncul lebih awal jika tidak dicegah. Dari sisi psikososial, remaja obesitas lebih rentan menghadapi stigma, bullying, rendahnya kepercayaan diri, hingga depresi. Bahkan, dampaknya dapat meluas ke ranah akademik, karena kondisi psikologis tersebut sering menurunkan partisipasi sosial dan prestasi belajar. Pada skala masyarakat, prevalensi obesitas remaja yang terus meningkat juga akan memperbesar beban penyakit tidak menular di masa depan, yang menurut WHO sudah menjadi penyumbang utama kematian di Indonesia.
Strategi Intervensi untuk Mengurangi Lingkungan ObesogenikÂ
Menghadapi tantangan ini, upaya intervensi untuk mencegah obesitas remaja perlu dilakukan secara menyeluruh dan multisektoral. Dari sisi pendidikan, sekolah harus menyediakan kantin sehat, program olahraga rutin, serta edukasi gizi dengan pendekatan yang menarik, misalnya melalui media audiovisual dan kampanye di media sosial. Dari sisi keluarga, orang tua berperan penting dalam membentuk kebiasaan makan sehat di rumah, membatasi konsumsi minuman manis, serta mengatur durasi screen time anak. Dari sisi kebijakan publik, pemerintah perlu memperkuat regulasi, seperti pembatasan iklan makanan tidak sehat, pengendalian penjualan makanan cepat saji di sekitar sekolah, serta kampanye gizi seimbang di masyarakat luas. Hanya dengan kolaborasi antara keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah, lingkungan obesogenik dapat ditekan dan digantikan dengan lingkungan yang lebih mendukung gaya hidup sehat bagi remaja.