Mohon tunggu...
Johannes Evan Jedidiah
Johannes Evan Jedidiah Mohon Tunggu... Pelajar

Saya adalah seorang yang gigih.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tiga Pandangan, Satu Kritik

21 September 2025   09:35 Diperbarui: 21 September 2025   09:35 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hal ini menunjukkan sikap kontradiktif masyarakat, dan ini juga dibuktikan melalui isu-isu sekarang seperti pemanasan global."

Artikel Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu oleh F. Rahardi mempunyai metode penyampaian yang unik. Artikel ini menggabungkan narasi pribadi, informasi ilmiah, dan kritik sosial untuk menyampaikan pesan yang kompleks. F. Rahardi menjelaskan ulat bulu yang dulu menjadi makanan warga Indonesia selama 1950-1960an, lalu dibanding dengan pandangan zaman sekarang yang takut akan ulat bulu untuk menyampaikan pesan yang lebih luas mengenai realita masa modern. Hal ini menunjukkan sikap kontradiktif masyarakat, dan ini juga dibuktikan melalui isu-isu sekarang seperti pemanasan global. Melalui artikel ini,  pembaca bisa dibenahi dengan banyak pengetahuan-pengetahuan baru tentang spesies ulat dengan juga memahami tentang sikap kontradiksi masyarakat sekarang yang dapat mengancam keberlangsungan hewan-hewan seperti ini.

Pandangan artikel F. Rahardi cukup tegas dan langsung dalam menanggapi isu-isu yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pesan dan kesan yang disampaikan oleh penulis sangat sesuai. Isu dan fakta yang disampaikan penulis memang nyata dan kritik sosial penulis serta bagaimana beliau menyampaikannya sangat membuka wawasan terhadap kondisi asli masyarakat.

"...kasus pemasangan pagar laut ilegal juga menyampaikan kritik yang keras dan langsung tentang ketidakmampuan pemerintah untuk menanggapi kasus ini dengan efektif."

Melihat sisi lain dari kelemahan-kelemahan negara, Editorial Tempo yang melaporkan tentang kasus pemasangan pagar laut ilegal juga menyampaikan kritik yang keras dan langsung tentang ketidakmampuan pemerintah untuk menanggapi kasus ini dengan efektif. Editorial ini menyampaikan menunjukkan bahwa pemerintah kurang kompeten dalam menyidik dan menyelesaikan kasus ini, khususnya kutipan dari editorial tentang pemerintah menggunakan teknik yang “rumit dan bertele-tele”. Selain itu, disampaikan juga pemerintah yang kesulitan menemukan aktor-aktor yang terlibat, meskipun para saksi menyampaikan bahwa, “Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Polri seharusnya tidak kesulitan menguak dalang proyek tak berizin…”. Dengan isu relevan ini, artikel ini juga mengungkapnya penting bagi para pihak yang terlibat khususnya juga Presiden Prabowo untuk segera menyelesaikan kasus ini karena dapat merugikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah apabila tidak tertangani.

Penulis menyampaikan isi artikel dengan cara yang tidak bertele-tele, secara tidak langsung mengkritik kemampuan, atau ketidakmampuan pemerintah dalam menangani kasus ini. Penjelasan mengenai isu ini, kronologis proses penyidikan, dan pihak serta informasi penting disampaikan penulis secara langsung dan jelas sehingga mudah dipahami oleh para pembaca. Melalui fakta-fakta tersebut, penulis juga menyampaikan kritiknya tentang kualitas pemerintah yang dipimpin oleh kabinet Prabowo. Penulis merasa bahwa pemerintah harus bisa bertanggungjawab dalam menanggapai permasalahan-permasalahan seperti ini dengan cara yang efektif dan efisien karena apabila tidak, hal ini tidak hanya merugikan masyarakat lokal tapi juga persepsi rakyat terhadap pemerintah.

"...ketiadaan etika dan integritas para pejabat politik dengan mengutip sumpah pelantikan anggota DPR."

Sekarang kita melihat sisi pemerintah yang mengkhianati rakyat melalui kolom oleh Budiman Tanuredjo yang menyampaikan kekecewaannya terhadap kondisi politik dan para pejabat zaman sekarang. Penulis menegaskan ketiadaan etika dan integritas para pejabat politik dengan mengutip sumpah pelantikan anggota DPR. Sumpah ini yang seharusnya menjadi afirmasi bagi para tokoh politik untuk menjalankan tugasnya demi mewakilkan rakyat dan memajukan bangsa ternyata hanya berupa omong kosong. Sumpah ini hanyalah formalitas bagi para pejabat karena perilaku mereka saat menjalani jabatan justru sangat berlawanan dengan janji mereka. Walaupun berupa teks, bisa dirasakan kesedihan dan kekecewaan yang dirasakan oleh penulis saat membuat karya tulis ini.

Artikel ini menggabung fakta dan argumentasi dengan sangat kritis. Penulis mengutip sumpah DPR, tuntutan era reformasi, dan peristiwa-peristiwa asli seperti RUU Pilkada sebagai contoh kemunafikan para pejabat. Mereka berkampanye, berjanji, dan bersumpah bahwa mereka akan menjalankan tugas mereka sebagai wakil rakyat untuk memajukan dan menyejahterakan rakyat, bangsa, dan negara. Pada kenyataannya, mereka hanya mengucapkan kata-kata mati dengan aksi-aksi yang hanya merugikan semua selain mereka. Mereka yang berjanji untuk memperbaiki masalah negara ternyata tidak coba sama sekali untuk mengatasinya, melainkan menambah juga masalah-masalah yang rakyat harus tanggung. Untuk menambah lagi, penulis menyampaikan hilangnya tokoh-tokoh politik Indonesia yang terkenal seperti Muhammad Hatta dan Agus Salim, untuk menunjukkan jauhnya pejabat zaman sekarang dari integritas tokoh politik Indonesia lama.

Segala kejahatan pemerintah dibalas oleh masyarakat. Sekarang kepada pemerintah untuk memilih apabila mereka tetap ingin menjalani tugas negara, atau rakyat yang harus menggantikan mereka.

Ketiga karya tulis ini, dari artikel F. Rahardi, Editorial Tempo, dan kolom Budiman Tanuredjo, ingin menyampaikan satu kritik terhadap kondisi bangsa yang sudah turun lebih jauh dari masa-masa sebelumnya. F. Rahardi mengkritik sikap masyarakat Indonesia yang kontradiktif, sementara Tempo dan Budiman Tanuredjo keduanya mengkritik kinerja pemerintah. Pemerintah sekarang yang hanya dipenuhi dengan sikap korupsi dan ketidakmampuan. Semua kritik ini sesuai dengan realita yang disaksikan oleh masyarakat Indonesia sekarang.

Kekecewaan yang dirasakan oleh rakyat akhirnya dikeluarkan dalam skala besar melalui demonstrasi terbaru. Demonstrasi ini menuntut banyak hal, tapi secara khusus tuntutan 17+8 dan banyak teriakan-teriakan masyarakat baik secara langsung atau di media sosial. Dengan anyaknya kritik yang diujarkan, apabila pemerintah tidak mampu untuk menanggapinya dengan serius, konsekuensinya akan dirasakan oleh semua pihak, tetapi secara khusus anggota-anggota pemerintah. Oleh karena itu, semoga segala saran dan kritik yang disuarakan oleh masyarakat bisa diterima dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah demi masa depan rakyat dan negara yang lebih baik.

Sumber artikel :

1. Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu  (F. Rahardi, Kompas.com)

2. Sandiwara Penyelesaian Pagar Laut Ilegal (Editorial Tempo)

3. Ketika Sumpak dan Etika hanya Menjadi Teks Mati (Budiman Tanuredjo, Kolom Kompas, 28 Agustus 2024) 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun