Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Usai Ramadhan, Mengapa Masjid Kembali Sepi?

1 September 2011   17:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:18 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramadhan benar-benar menjadi bulan yang teramat istimewa. Pada bulan itu, semua orang Islam menyambutnya penuh sukacita. Bahkan, sambutan itu dilakukan pula oleh sebagian nonmuslim. Bagi orang Islam, Ramadhan sering dijadikan momentum untuk memerbaiki diri. Bagi orang nonmuslim, bulan Ramadhan sering dijadikan sebagai tolok ukur toleransi. Maka, hampir semua masjid atau surau dipenuhi jamaah untuk menyambut bulan nan agung.

Kini, Ramadhan telah berlalu tiga hari lalu. Saat ini, kemeriahan Idul Fitri begitu dominan di tengah-tengah kita. Di mana-mana, begitu tampak jelas kemeriahan perayaannya: makanan enak, suara mercon, dan kemacetan pemudik menjadi salah satu tandanya. Bagi anak kecil, jelas baju baru dengan wajah yang sumringah karena kantong penuh berisi uang saku. Perayaan Idul Fitri telah menyulap situasi, bahkan situasi seperti sebelum Ramadhan. Begitulah inderaku melihatnya.

Petang dan malam ini, saya menunaikan sholat maghrib dan ‘isya di masjid kampungku. Dari rumah, tentunya saya berharap untuk menemukan situasi kemeriahan masjid seperti Ramadhan. Kemeriahan yang disebabkan oleh membludaknya jamaah. Selama Ramadhan, masjid kampungku dipenuhi jamaah: tua, muda, besar, kecil, lelaki, dan juga perempuan. Mereka seakan berlomba untuk meraih surga sebagaimana dijanjikan-Nya. Maka, kakiku pun begitu ringan melangkah dengan ditemani si buah hati.

Namun, saya sangatlah terkejut. Masjidku terlihat agak lengang. Pada waktu maghrib, saya hanya bertemu dengan beberapa bapak dan kakek-kakek. Jarang saya bertemu lelaki paruh baya, terlebih usia yang lebih muda. Kondisi itu tidak berubah meskipun iqomah mulai terdengar. Maka, jamaah maghrib pun hanya terdiri atas dua setengah baris. Pada waktu ‘isya, barisan justru berkurang dan hanya terlihat dua baris.

Saya kurang memahami menurunnya semangat beribadah para jamaah. Apakah mereka kelelahan setelah seharian bersilaturahim? Ataukah mereka kekenyangan karena menyantap banyak hidangan nan lezat di sana-sini? Ataukah mereka memang memiliki sifat malas yang tak terhilangkan meskipun sudah berpuasa selama sebulan? Agaknya alasan terakhir mungkin dapat menjadi pembenar dari kondisi di atas.

Jika kondisi itu dibiarkan, bisa jadi masjid akan menjadi tempat para tua-jompo yang sedang mencari bekal untuk kehidupan “nanti”. Namun, agaknya para jamaah lain lupa bahwa kematian dapat menjumpai si tua dan si muda serta balita. Jika itu disadari, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa masjid akan terus dipenuhi jamaah. Masjid tidak akan terbiarkan lengang meskipun Ramadhan telah hengkang. Ayo kita makmurkan masjid seperti bulan Ramadhan! [Telkomsel Ramadhanku]

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun