Kata provokator berasal dari kata provokasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1108) mengartikan provokasi sebagai perbuatan untuk membangkitkan kemarahan; tindakan menghasut; penghasutan; pancingan. Itu berarti bahwa provokator adalah pembangkit kemarahan, penghasut, dan pemancing.
Saya senang sekali membaca beragam tulisan. Tulisan itu merupakan karya terbaik penulisnya. Untuk menuangkan isi pikiran menjadi sebuah tulisan, diperlukan perjuangan dan pengorbanan yang tidak sedikit: waktu, pikiran, dan tenaga. Bagi penulis pemula, pengorbanan itu bertambah. Pada umumnya, penulis pemula perlu menyusun kerangka karangan atau sekadar menyusun ide-ide pokoknya.
Pengorbanan yang sedemikian banyak tentunya disertai dengan harapan. Kita berkarya tentu mempunyai tujuan atau tendensi. Tujuan itu dapat berbentuk materi (honor), pujian, atau aktualisasi diri sehingga dikenal luas.
Jika menulis karya dan dimuat di media cetak, tentu penulis akan mendapatkan honor. Besar-kecilnya honor hendaknya tidak menjadi tujuan utama. Dimuat saja sudah merupakan keuntungan luar biasa. Terlebih, penulis pemula seperti saya. Sungguh senang sekali jika tulisan saya dimuat.
Namun, bagi blogger tidaklah bertujuan demikian. Pada umumnya, para blogger menekankan keuntungan aktualisasi diri daripada materi. Dengan menulis, para blogger dapat bertukar pikiran. Jika bernasib baik, para blogger itu akan mendapatkan imbalan materi pula. Mereka – para blogger – itu akan diundang para penggemarnya. Di sanalah, mereka akan meraih hasil dari perjuangannya itu.
Perbedaan mencolok antara kolumnis (penulis media cetak) dengan blogger terletak pada kualitas tulisan. Pada media cetak, setiap tulisan akan disaring atau disunting oleh penyunting (editor). Artinya, setiap tulisan tidak dapat dimuat secara langsung. Penyunting akan menggunakan pedoman penyuntingan: aktualitas isi, kegunaan, keamanan isi, dan bahasa.
Nah, tulisan para blogger berbeda. Mereka bebas berkarya. Mereka dapat meng-upload sesuka hatinya. Mereka selalu berdasarkan keyakinan pribadi. Seperti penjelasan di atas, mereka berpedoman bahwa tulisannya merupakan karya terbaiknya.
Di sinilah kita perlu bersikap. Kita – pembaca – harus bersikap ekstrahati-hati. Saya menemukan beragam tulisan yang berisi provokasi. Isi tulisannya mengarahkan pembaca untuk marah, terhasut, dan terpancing.
Sadar atau tidak, para pembaca ada yang terpancing. Sikap pembaca itu dapat diketahui dengan membaca komentarnya. Pembenaran pendapat pribadi tanpa memperhatikan “keamanan” diri dan orang lain sangat berbahaya. Tulisan itu dapat menjadi racun pikiran.
Tentu pendapat saya berdasar pengamatan pribadi pula. Saya berusaha membaca tulisan yang mampir ke lapak saya. Memang saya bersikap selektif. Tidak semua tulisan dibaca. Setidaknya melalui judulnya, saya sudah tertarik.
Saya menyukai tulisan tentang pendidikan, motivasi, agama, dan reportase. Ini tentu berdasarkan background saya sebagai pendidik, pemeluk agama, dan peminat berita. Lalu, saya berusaha mengetahui profil penulis. Dari sanalah, saya dapat mengetahui sejarah penulis.
Dengan mengetahui sejarah penulis, saya dapat mengidentifikasi kualias tulisannya. Jika penulis itu berprofesi sebagai mandor pabrik, tentu tulisannya sangat cocok dengan dunianya. Atau setidaknya, tentang keluarga dan lingkungan penulis. Sangat lucu jika seorang mandor pabrik menulis tentang politik. Bahasannya tentu hambar. Tulisannya tentu kurang berkualitas. Lha penulis dan tulisannya tidak linier secara keilmuan. Tentu alasan ini dapat diterima akal sehat.
Oleh karena itu, saya tidak menyukai tulisan-tulisannya. Terlebih, saya menemukan ”nada provokasi” di sana. Kapan penulis itu menjadi polisi, menjadi jaksa, menjadi presiden, menjadi ulama, atau menjadi guru?
Sebagai contoh, kita begitu membenci korupsi. Tidak hanya Anda, setiap orang normal pasti membenci korupsi. Tindakan itu terkategori mencuri. Artinya, itu tindakan kriminal. Semua agama akan menjawab: neraka adalah tempat yang layak baginya.
Namun, dunia korupsi akan menjadi sangat tepat jika dibahas penulis yang selinier dengan ilmunya. Mereka mengetahui jenis pelanggaran dan sanksi hukumnya. Lha kita? Kita terlalu memaksakan diri untuk mengetahui dunia itu. Sementara, dunia itu bukan dunia kita.
Kita nikmati saja dunia kita dan tidak perlu menikmati dunia orang lain. Kita membenci korupsi karena kita belum mendapatkan kesempatan untuk berperilaku korupsi. Bersikap normal-normal sajalah. Cobalah kita bersikap konsisten dengan berlandaskan niat baik. Jagalah niat agar selalu berteguh hati pada prasangka baik. Tuhan tidak tidur dan tidak akan pernah tertidur. Jadi, hendaknya Anda tidak menjadi provokator! Selamat petang dan semoga bermanfaat. Terima kasih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI