Mohon tunggu...
Johanis Malingkas
Johanis Malingkas Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Menulis dengan optimis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ini Bukan Ayat-ayat Api

22 Juli 2020   11:59 Diperbarui: 22 Juli 2020   12:21 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sampul buku ayat ayat api Sapardi Djoko Damono(sumber:kepadapuisi.blogspot.com)

Ini bukan ayat ayat Api!

Saya memang bukan penulis puisi yang handal. Saya hanyalah penikmat puisi dan ingin menghayati dan memahami apa yang tersirat dalam bait bait atau larik larik sebuah puisi.

Setiap orang akan berbeda dalam memaknai sebuah puisi yang di tulis seorang penyair. Tergantung dari sudut pandang yang ada dalam diri penikmat dan perjalanan pengalaman pribadi serta menyimak tulisan tulisan sastrawan dalam membedah dan menelaah sebuah karya puisi.

Ini memang bukan ayat ayat api, namun coba menelisik apa yang tersirat dalam puisi yang ada di dalam buku karya legendaris sastra Indonesia Sapardi Djoko Damono. Sebuah puisi menarik SDD, sapaan akrabnya berjudul ADA POHON BERNAFAS. Puisi ini memang tidak setenar seperti Ayat Ayat Api, terlebih yang populer seperti Hujan Bulan Juni, Aku Ingin, Pada Suatu Hari Nanti. Memang itu harus diakui, bahkan puisi Hujan Bulan Juni dalam buku kumpulan puisinya itu telah menginspirasi pembuatan film dimana SDD menjadi tokoh pemain di dalamnya.

Apa yang menjadi keistimewaan puisi ADA POHON BERNAFAS itu bagi Kompasiana termasuk di dalamnya Kompasianer?

Sebelum saya membahasnya, mungkin perlu dituliskan puisi itu disini.

Ada Pohon Bernafas

Ada pohon bernafas jauh dalam diri kita
di setiap helaan nya seratus burung pulang
mendengar cericit anak-anaknya

Ada pohon bernafas jauh dalam diri kita
di setiap hembusan nya seratus warna bunga
berhamburan menyambut godaan cahaya

Sebuah puisi nan pendek dibandingkan puisi ayat ayat api nan agak panjang. Namun sebenarnya puisi itu seakan akan telah memprediksi sesuatu hal yang akan terjadi masa kini. 

Saya anggap puisi itu telah menceritakan tentang eksistensi atau keberadaan kita kompasianer di Kompasiana saat ini. Coba kita telisik secara khusus dengan menggunakan cara kompasianer Felix Tani, yaitu menggunakan metode tanpa metode, intuisi dan serendipitas. (Maaf Prof kalau saya keliru).

POHON BERNAFAS itu simbol KOMPASIANA. Pohon itulah KOMPASIANA.  Pohon bernafas itu jauh dalam diri kita, maknanya kompasiana itu telah merasuk hati, jiwa dan batin setiap penghuninya yang adalah kita sebagai KOMPASIANER. Kompasiana itu ibarat candu (pinjam istilah kompasianer Wuri Handoko, (nanti saya kembalikan di jalan Maengket hehehe). Pohon bernafas artinya pohon yang hidup dengan menghela dan menghembus nafas sebagai mahluk hidup. Faktanya, setiap hari Kompasiana menerima artikel yang masuk dan mempublikasikan dan dapat kita nikmati bersama.

Seratus burung dan seratus bunga itu adalah KOMPASIANER yaitu kita yang selalu menulis, membaca, mengomentari dan setia berada sekaligus berinteraksi di Kompasiana. Mengapa seratus burung dan bunga karena penulis kompasiana itu terdiri atas penulis pria dan wanita. Bahkan, menyimak tulisan kompasianer Posma Siahaan ada sekitar 113 kompasianer menuliskan artikel spesial tentang sosok sastrawan terkenal itu Sapardi Djoko Damono di Kompasiana. 

Bayangkan saja SERATUS lebih dan nampaknya masih bertambah hingga hari ini.

Nah, kalau seratus burung ini pulang akan mendengar CERICIT anak-anaknya artinya kompasianer ini akan menyimak beraneka ragam tulisan rekan kompasianer yang aktual, menarik, bermanfaat dan unik mengenai sosok Sapardi Djoko Damono. Begitu pun memaknai seratus bunga akan berhamburan menyambut godaan CAHAYA. Faktanya, sebuah artikel tulisan kompasianer wanita masuk dalam sorotan kompasiana sebagai artikel terpopuler. Ada pula kompasianer yang dijuluki kompasianer bunga karena artikel artikel menariknya tentang bunga, bukan?

Nah, ini bukan ayat ayat api. Tulisan ini tentang salah satu puisi Sapardi Djoko Damono dalam buku bernama Ayat Ayat Api. Buku setebal 149 hamman dan diterbitkan PT Pustaka Utama Grafiti Jakarta. Buku yang terdiri 3 bagian, yaitu ayat Nol (15 puisi), ayat Arloji (33 puisi) dan ayat ayat api (6 puisi). Puisi Ada Pohon Bernafas adalah salah satu puisi di buku itu.

Tulisan ini memang bukan ayat ayat api, namun sebuah ide dan pemikiran untuk kita renungkan bersama. Gagasan ini termotivasi dalam menyimak dan mencermati kepedulian dan perhatian kompasianer terhadap sosok Sapardi Djoko Damono. Seratus lebih artikel yang di tuangkan kompasianer di Kompasiana merupakan sesuatu nilai yang luar biasa dan hebat. Bahkan saya terkesan dengan artikel kompasianer Nursini Rais dan Posma Siahaan yang mencantumkan foto bareng bersama SDD ketika hadir dalam Kompasianival 2018 lalu.

Seandainya ada pihak yang berminat mensponsorinya, apakah mungkin tulisan-tulisan  kompasianer tentang SDD ini di bukukan dan diterbitkan. Selain akan menambah khazanah literasi di negeri ini juga akan memotivasi generasi milenial lebih mengenal sosok sastrawan kita dan mengaktualisasikan keabadian seperti yang pernah di tuliskannya dalam puisi: KITA ABADI.

Ide lainnya, mungkin saja ada pihak termasuk diantara kompasianer tertarik menuliskan otobiografi SDD mengacu dari trik menulis biografi Kang Pepih (sapaan akrab Pepih Nugraha)yang di tulis di Kompasiana baru baru ini?

Ini memang bukan ayat ayat api. Setidaknya puisi Ada Pohon Bernafas telah menginspirasi saya menuliskan artikel ini. Harus diakui bahwa kompasiana sebagai media kesayangan kita ibarat sebuah pohon bernafas. Kita sebagai penghuni yaitu kompasianer di ibaratkan Burung dan Bunga.

Setujukah anda wahai kompasianer???

Mari kita bersukaria dengan kata kata agar Pohon itu tetap bernafas menghidupkan kita pula!!!

Salam Kompasiana.

Manado 22072020.

sumber bacaan: kepadapuisi.blogspot.com dan kompasiana.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun