Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Meregang Nyawa di Stadion Kanjuruhan, Salah Siapa?

2 Oktober 2022   20:58 Diperbarui: 3 Oktober 2022   09:24 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Storiloka.com (2/10/2022)

Saya bukan penggila bola, bukan pemerhati bola, bahkan tak pernah menonton langsung di stadion tiba-tiba tergerak untuk menulis sepak bola. Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang pemicunya. Dalam kerusuhan yang terjadi di kegelapan malam itu 187 orang dikabarkan tewas dan ratusan terluka.

Diduga tidak puas dengan kekalahan suporter Arema menghambur ke lapangan dengan berlompatan dari tribun penonton tanpa terkontrol. Petugas keamanan panik, gas air mata disemburkan ke arah penonton. Kepanikan memuncak. Dengan napas sesak dan mata perih ribuan penonton berdesak-desakan menyerbu pintu keluar. Kerusuhan tak bisa dihindarkan. Korban pun jatuh.

Tragedi Kanjuruhan mengingatkan kita pada tragedi sepak bola paling mengerikan sepanjang sejarah. Laga sepak bola berdarah itu terjadi di Stadio Nacional yang terletak di Lima, ibu kota Peru yang terjadi tahun 1964, di mana lebih dari 300 orang tewas dan sekitar 500 orang terluka.

Ketika itu bertemu timnas tuan rumah Peru melawan Argentina dalam laga Kualifikasi Olimpiade 1964. Suporter timnas Peru sekuat tenaga menyemangati tim mereka, lebih-lebih saat jaring gawang lawan bergetar di menit-menit injury time.

Stadion yang disesaki 53.000 penonton itu menjadi liar ketika tiba-tiba wasit menganulir gol yang dilesakan pemain Peru. Situasi makin mencekam, ketika sejurus kemudian tiba-tiba dua penonton memasuki lapangan.

Penonton pertama yang masuk lapangan yang dikenal sebagai Bomba mencoba untuk memukul wasit. Penonton kedua, Edilberto Cuenca mengikutinya. Keduanya berhasil diringkus polisi, digelandang ke luar lapangan lalu dianiaya.

Dalam hitungan detik, para penonton melemparkan berbagai macam barang ke arah polisi. Beberapa puluh orang juga serentak meluap, menyerbu lapangan. Situasi menjadi tidak terkendali dan bencana pun dimulai.

Petugas keamanan menjadi beringas, penonton panik. Ribuan penonton berebut pintu keluar menghindari gas air mata, anjing dan polisi. Banyak korban tewas karena terinjak-injak, terhimpit dan sesak napas. Tiga jam kerusuhan terjadi di dalam stadion. Di luar stadion massa semakin brutal, membakar mobil dan bangunan. Beberapa hari kemudian dilaporkan jumlah yang tewas mencapai 328 orang.

Yang terjadi di Stadion Kanjuruhan Sabtu malam kurang lebih mirip dengan di Peru 58 tahun yang lalu. Orang menduga banyak jatuh korban lantaran baku hantam antar dua kubu pendukung kesebelasan. Ternyata tidak demikian karena pertandingan itu hanya ditonton para suporter Arema, suporter tim tamu dilarang menonton di stadion. Hal ini merupakan upaya mitigasi risiko dari panitia untuk mengeliminir risiko. Tetapi, itu saja tidak cukup.

Diduga tidak puas dengan hasil pertandingan yang bertajuk Derbi Jatim itu -Arema kalah 2-3 dari Persebaya, sejumlah penonton menghambur ke lapangan. Petugas keamanan kewalahan menghalau mereka yang terus bertambah di lapangan hijau yang dikabarkan jumlah mencapai 3000 orang. Gas air mata pun terpaksa disemburkan.

Ribuan penonton lain -kabarnya jumlah penonton malam itu mencapai 42 ribu, yang tetap di tribun turut merasakan efek buruk dari semburan gas air mata. Dalam keadaan mata perih dan sesak napas, dengan panik mereka berhamburan menuju pintu keluar. Yang terjadi adalah situasi chaos, desak-desakan tak terkendali. Dikabarkan 35 orang tewas di stadion dan lebih dari 100 orang meninggal di rumah sakit, ratusan lainnya yang terluka masih memerlukan perawatan.


Tidak ada penyebab tunggal atas segala sesuatu yang terjadi. Beberapa faktor saling terkait dan mempengaruhi. Setidaknya ada tigal hal yang paling krusial yang perlu dicermati dalam insiden Kanjuruhan Sabtu malam itu. Pertama jumlah penonton melebihi kapasitas. Seperti diberitakan berbagai media kapasitas stadion Kanjuruhan 38 ribu tetapi jumlah penonton mencapai 42 ribu sesuai dengan tiket yang dicetak. Ini berisiko menimbulkan kepadatan tinggi, berdesak-desakan dan rawan gesekan antar penonton yang memerlukan pengamanan ekstra. Kedua penggunaan gas air mata untuk menghalau penonton. Peraturan FIFA pasal 19 melarang penggunaan gas air mata untuk mengendalikan massa. Tetapi pihak keamanan terpaksa menggunakannya dengan alasan sejumlah massa telah berbuat anarkis. Ketiga, apakah ini berkaitan dengan alasan rating tv? Pertandingan yang sudah disarankan digelar sore hari tetapi dilaksanakan malam hari.

Boleh jadi ada hal lain yang luput dari perhatian. Untuk itu investigasi yang mendalam sangat diperlukan untuk menggalinya. Penelitian yang seksama dan akurat diperlukan untuk memastikan siapa yang paling bertanggung jawab atas tragedi yang mengerikan itu. Tidak harus terburu-buru menuding ini atau itu apalagi mencari kambing hitam.


Sepak bola sebagaimana bentuk olah raga permainan lain sejatinya hiburan yang ramah bagi banyak orang. Namun sampai hari ini dunia sepak bola Indonesia masih jauh dari harapan kita semua. Prestasi sepak bola Indonesia nyaris tak pernah terdengar selama ini justru dicoreng-moreng oleh sebagian suporter yang tidak bertanggung jawab. PSSI belum menemukan format yang tepat untuk mengembangkan olah raga yang paling digemari masyarakat ini.

Baru saja dalam beberapa hari yang lalu kita disuguhi tontonan yang menghibur dan membanggakan. Pertandingan sepak bola dalam tajuk FIFA Matchday antara timnas melawan Curacao dimenangkan timnas dalam dua pertandingan berturut-turut. Rasanya semua orang sepakat pertandingan itu merupakan harapan dalam munculnya kebangkitan dunia sepak bola Indobesia yang selama ini dilirik sebelah mata oleh dunia. Tetapi tragedi Kenjuruhan seperti telah menghapus semuanya. Orang tak lagi sanggup berkata-kata.

Semua orang sepakat dan berharap agar tragedi Kenjuruhan yang memilukan ini merupakan pelajaran dan menjadi yang terakhir dalam dunia persepakbolaan kita. Evaluasi dan investigasi perlu segera dilakukan.  Evaluasi tidak sebatas pada aspek teknis sepak bola, pertandingan dan pengamanan tetapi termasuk pada pembinaan karakter penonton. Investigasi hendaknya dilakukan oleh lembaga independen yang dapat mengurai dan mengusut peristiwa tragis ini seadil-adilnya. Tanpa pandang bulu.

Dan, yang menghantui adalah kemungkinan sanksi yang dijatuhkan FIFA yang bisa membuat kemunduran dalam dunia sepak bola Indonesia. Seperti ditulis detik.com (2/10/2022) PSSI berharap FIFA tidak menjatuhkan sanksi. "Ini bukan sebuah perkelahian antar suporter. Ini bukan suatu kerusuhan yang saling memukul yang bertikai," kata Yunus Nusi, sekjen PSSI memberi alasan. Seperti banyak diberitakan tragedi yang menimbulkan banyak korban tewas di Stadion Kenjuruhan terjadi lebih kepada tertumpuknya ribuan penonton di pintu keluar yang menyebabkan desak-desakan, jatuh terinjak-injak dan kehabisan napas.

Sesuatu sudah terjadi. Bagi masyarakat bukan soal ada atau tidak ada sanksi FIFA tetapi yang paling ditunggu dari PSSI adalah realisasi dari niat untuk memperbaiki diri. Hanya keledai yang terantuk dua kali pada kerikil yang sama.

Sikap tidak menerima kekalahan atau tak bisa mengakui keunggulan lawan harus dikikis habis. Jangan sampai menjadi sikap yang diwariskan ke anak cucu. Kecenderungan dari sikap tidak terpuji ini menimbulkan dendam, iri hati, angkuh yang merupakan pemicu disetiap kerusuhan.

#salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun