Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mengerikan, Menginap di Hutan Belantara karena Bus yang Ditumpangi Terjebak Longsor

16 Maret 2021   07:18 Diperbarui: 16 Maret 2021   14:37 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Di dalam bus terasa sangat nyaman, sejuk dengan pendingin udara tidak seperti di pol bus yang panas. Aku segera memakaikan sweeter pada putriku, sementara istri sibuk menyeduh susu buat anak laki-lakinya yang mulai merengek kelaparan. Setelah mulutnya disumpal dengan dot susu, tak terdengar lagi suaranya. Asyik menyedot susu hangat dipelukan ibunya, tak lama kemudian ia tertidur.

Tidak lama kemudian bus pun berangkat meninggalkan pol di Padangsidempuan. Betul-betul nyaman naik bus besar ini. Tempat duduknya lapang tidak terasa berdesak-desakan sekalipun aku menggendong putriku dan di sebelah istriku memangku anak bungsuku yang sudah terlelap tidur. Saat berbelok ke jalan raya bus sedikit bergoncang membuat anak bungsuku terbangun kaget. 

Kepalanya melongok, matanya melirik ke kiri dan ke kanan, lalu menatap ke wajah ibunya. Tak ada yang dikatakannya karena memang belum pandai bercakap-cakap. Dalam hatinya mungkin bertanya kenapa becak yang ini kok besar sekali. Hanya sebentar saja matanya melek, kemudian mencari-cari botol susu lalu tidur lagi.

Putri, anak sulungku belum tidur, mungkin belum mengantuk atau tak bisa tidur menikmati suasana naik bus besar. Mukanya menengok ke luar jendela bus menyaksikan lampu-lampu yang menyala menerangi toko-toko dan rumah yang dilewati. Bosan meneliti sendiri, maka mulailah ia berkicau macam burung kenari, bertanya ini itu. 

Aku pun berusaha menjawab semua pertanyaanya. Untuk pertanyaan tentang apa aku menjawab dengan seperlunya -to do point. Bosan bertanya apa, ia bertanya mengapa. Ini yang sulit, tetapi  aku dengan sabar menjawab semuanya dengan memberi alasan. Setelah lewat ujung kampung tak ada lagi yang ditanyakan karena tak ada lagi yang dilihatnya, di luar gelap. Sementara itu bus terus melaju.

Tidak sampai satu jam bus sudah tiba di Sipirok, kota kecamatan di utara Padangsidempuan. Sipirok berada di dataran tinggi di pinggang Gunung Sibualbuali wilayah subur berhawa sejuk penghasil sayur-sayuran. Kalau siang daerah ini sangat elok dipandang. Jalan yang berkelok-kelok menyusuri punggung bukit yang di kanan dan kirinya menghijau kebun sayuran yang berumpak-umpak. 

Tetapi karena perjalanan malam hari tak ada yang bisa dilihat kecuali rumah-rumah yang kebanyakan terbuat dari papan beratapkan seng yang kebetulan di depannya dipasang lampu yang menyala. Hanya sebentar saja bisa memandang rumah yang berderet-deret, setelah itu gelap. Putriku sepintas menengok lewat jendela, tak sempat bertanya apa atau kenapa.

Ketika tiba di Aek Latong sekitar 10 km dari Sipirok bus tak bisa melaju kencang. Jalan berliku-liku, kiri dan kanan hutan tropis. Waktu sudah lewat pukul 9 malam, sebagian penumpang sudah terlelap, sisanya yang masih melek duduk melamun.  

Bus kadang miring ke kiri, kadang ke kanan. Sesekali terdengar derit bunyi rem di tengah-tengah dengkur atau  orang yang menguap. Jalan tak hanya berkelok tetapi kadang mendaki juga menurun mengkikuti kontur tanah. Di wilayah itu sifat tanahnya dikenal labil sehingga mudah longsor. Sopir harus benar-benar lihay, lengah sedikit bus bisa terperosok masuk jurang.

Tiba-tiba bus berguncang keras seperti  anjlok ke lubang yang dalam. Deru mesin terdengar keras, mengerang-erang tetapi bus tidak beringsut. Tidak lama kemudian mesin bus mati, suasana senyap. Sepertinya hampir semua penumpang terbangun karena tak terdengar lagi bunyi dengkuran.

Di depan, sopir dan kondektur berbisik-bisik. Beberapa penumpang laki-laki bangkit dari duduknya dan berjalan menuju depan ke tempat duduk sopir. Terdengar percakapan dengan bahasa batak memecah malam yang sunyi. Dari percakapan mereka itu sedikit banyak aku mengerti. Bus terperangkap di jalan yang amblas, bagaikan lembu yang mogok maju segan mundur tak mau. Bus kami melintang menghalangi kendaraan lain yang datang dari Padangsidempuan dari belakang dan dari arah Tarutung di depan. Perbaikan jalan menunggu bantuan alat berat, mungkin butuh waktu lama. Sopir bus menyerah, tak berdaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun