Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menikmati Touring 100-K Bandung-Garut Bersama Paguyuban Pensiunan yang Mengasyikan

26 Februari 2020   20:17 Diperbarui: 27 Februari 2020   05:43 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumen Pribadi, Kebun Mawar Situhapa

Menjalani hidup sebagai pensiunan dengan bergantung pada penghasilan berupa gaji atau tunjangan pensiun yang tidak seberapa, tentu tidak mudah. Tetapi, semuanya sudah "given" tak berguna untuk berdiskusi panjang lebar. 

Dalam kondisi seperti itu pensiunan harus tetap survive, tetap aktif, menjaga kesehatan baik jiwa maupun raga. Berkumpul, silaturahmi dan melakukan aktivitas rekreasi bersama merupakan satu cara untuk saling menguatkan, berserah diri dan bersyukur kepada Yang Mahatinggi.

Biasanya melakukan sesatu dengan guyub dan bekerja bersama-sama akan lebih efisien. Kami, para pensiunan Bank BRI yang pernah bertugas di Cabang Asia-Afrika mendirikan paguyuban. Agar tidak memberi kesan sebagai "serdadu tak berguna" tak ada kata pensiun dalam paguyuban yang dibentuk, melainkan mengambil istilah alumni. Maka terbentuklah Ikatan Alumni BRI-AA (IKABRI-AA). 

Kegiatannya, hanya ngumpul mengobrol, saling menguatkan dan berbagi siasat bagaimana menjalani masa pensiun dengan baik dan benar. Beberapa anggota yang tinggal di rumah yang luas serta berhati lapang sudi menyediakan tempatnya untuk berkumpul. Kadang berkumpul tiga bulanan kadang lebih atau kurang. Tidak mengikat. Bosan dari rumah ke rumah, sesekali diadakan di tempat lain. Kemarin kami ke Garut.

Untuk berangkat ke Garut dibutuhkan tidak kurang dua bulan untuk persiapan. Sengaja disiapkan waktu yang cukup agar anggota bisa mengatur waktu untuk memaju-mundurkan jadwal yang lain, katanya. Begitu juga panitia bisa leluasa untuk memikirkan tema, acara, dan lokasi-lokasi mana yang akan dikunjungi yang sesuai dengan orang-orang usia pensiun. Tetapi, yang lebih penting bagaimana mengatur budget biaya bagi seluruh anggota yang kesemuanya nyaris tak berpenghasilan lagi.

Maka diputuskanlah hari dan tanggal keberangkatan ke Garut mengunjungi beberapa obyek, menyewa kendaraan minibus, sekali makan siang dan tidak menginap. Anggota yang mau bergabung dikenakan biaya 100 ribu per orang.

Aku kaget bercampur haru dan gembira. Kok murah sekali pikirku.

"Cukup Pak, insyaallah," kata salah seorang panitia. " Sisanya, akan ditutupi dengan uang kas dan donatur yang tidak mengikat." sambungnya.

"Tapi, ini seharian lho Pak!" aku masih belum percaya.

"Betul, hanya saja acaranya yang ringan-ringan saja. Makan siangnya pun, bukan menu makanan berat."

Okelah, pikirku. Panitia saja optimis kenapa aku yang hanya peserta harus khawatir.

Kemarin pagi kami berangkat ke Garut. Rombongan dengan lima minibus  Toyota Hiace berangkat dari halaman Kantor BRI Asia-Afrika pukul enam pagi. Aku menunggu di Binong menyesuaikan dengan rute yang dilalui yang tak jauh dari tempat tinggalku di Antapani.

Pagi itu hujan turun rintik-rintik, saat kendaraan keluar dari Jalan Tanjungsari masuk ke Jalan Jakarta terjadi kemacetan. Kendaraan sulit bergerak, aku bersama istri dan Adena -si bungsu, yang berada di dalam taksi online tak bisa berbuat banyak. Supir taksi online mengeluh.

Aku mencoba kontak dengan Pak Hardi, kordinator bus-4 dengan mengirim pesan WA. Hanya cheklist satu, tidak terkirim. Dicoba kontak lewat telpon, tidak aktif. Gawat. Akhirnya, aku WA Pak Sumardi, kawan satu bus. Cheklist dua, tetapi belum dibaca.

Hujan masih gerimis aku turun di depan BRI Unit Binong. Baru saja mau mencari tempat berteduh, tak jauh dari tempatku berdiri minibus Toyota Hiace menepi. Di kaca depan tertulis Goes to Garut, di bawahnya angka 5 besar. Dari pintu tengah terlihat kepala Pak Cucu melongok.

"Ayo, naik Pak!"
"Saya di mobil 4, Pak Cucu!"
"Tapi, saya diminta jemput Bapak di sini."

Dengan sedikit ragu, aku, istriku dan Adena naik ke atas mobil. Ada 5 tempat duduk yang kosong. Aku menengok jam di HP, sudah pukul 7.10.

Setelah belok di lampu merah Kiaracondong Pak Sumardi, kawan di mobil 4 sesuai daftar dari panitia menelpon. Di depan BRI Unit Binong tidak ditemukan saya, katanya. Betul dugaanku, sudah salah mobil. Pak Cucu rupanya cukup menjemput peserta di Gedebage, panitia keliru maklum pensiunan. Di perempatan Gedebage aku berganti mobil sesuai daftar yang baik dan benar memgikuti EYD. Habis itu mobil melaju ke arah Sapan.

Kursi di mobil 4 pun tidak terisi semua, karena ada yang batal berangkat. Aku duduk di bangku paling belakang dengan Pak Zaenal Abidin. Ia asli Bandung sehingga tahu sampai ke gang-gang sempitnya juga pandai mengobrol.

Setelah 12 tahun pensiun, Pak Abidin menikmatinya dengan tenang dan bersahaja. Dulu saat memasuki masa pensiun anak bungsu dari ketiga anaknya masih kuliah. Bersama istrinya ia membuat dan berjualan keripik kentang, sempat sampai 6 ton kentang basah dalam sebulan pada saat-saat puncak produksinya. Sekarang ketika si "anak kentang" sudah lulus dan sudah bekerja di perusahaan tambang emas di Halmahera, Bapak dengan tiga anak yang semuanya lulusan Unpad dan sudah bekerja itu betul-betul menikmati indahnya masa pensiun.

Tidak terasa mobil sudah tiba di Majalaya. Sejak 10 tahun memiliki KTP Bandung, setelah pensiun -hari ini, aku baru tahu kota yang dikenal dengan daerah banjir di Bandung selatan ini. Tetapi, pagi ini di kota itu tidak banjir, jalanan hanya sedikit basah karena gerimis tadi pagi. Pak Abidin pun melanjutkan ceritanya, tentang suka duka bekerja 33 tahun di BRI. Ia memulai karir sebagai petugas bimas dan berakhir dengan jabatan supervisor kas. Aku mengangguk beberapa kali sambil menyimak kisahnya. Kisa perjalanan karir yang kadang mengharukan, sesekali mengagumkan. Ia pun bangga dalam karirnya yang hanya berbekal sertipikat kursus Bon-A, bisa pensiun normal nyaris tanpa cacat selama karirnya. Cerita Pak Abidin sudah sangat mengasyikan daripada tournya sendiri. Banyak hal-hal yang dilakukannya selama menjalani pensiun dengan bersahaja yang perlu diteladani.

Kota Majalaya sudah dilewati masuk ke wilayah ibun. Tak ada lagi kekhawatiran banjir karena jalan mulai menanjak ke pegunungan. Yang ada, kengerian di atas jalan yang curam. 

Untung tak berlangsung lama. Ketika melewati punggung bukit, di depan mata melintang jembatan baja dengan warna kuning yang menonjol. Lima kendaraan tour berhenti di ujung jembatan. Suasana sepi, kami berfoto-foto.

Belanja Petai (Sumber: Dolumen Prinadi)
Belanja Petai (Sumber: Dolumen Prinadi)
Sebelum semua naik kembali ke mobil menyempat dulu membeli petai yang dijual pedagang menggunakan mobil. Mobil pedagang petai itu berhenti di dekat mobil kami, sepertinya tahu kalau kami pensiunan cukuplah membeli petai saja untuk buah tangan, tak perlu buah-buahan yang mahal. Satu ikat besar berisi 23-25 papan petai hanya 25 ribu saja. Amboi.

Beberapa saat setelah melewati kawasan PLTU Kamojang mobil membelok ke gerbang besar, di seberangnya rimbun pepehonan tempat memarkir kendaraan. Aku turun mengikuti semua peserta yang sebagian menyerbu toilet. Aku bertanya-tanya tempat apa ini?

"Kebun Mawar Situhapa, Pak."

Di samping tempat kepada siapa aku bertanya terdapat pintu kecil yang nyaris tertutup rimbun tumbuhan merambat bertuliskan, "Tiket Masuk 17.500." Harga yang cocok untuk pensiunan pikirku.  Setelah pintu itu terbuka tampak terhampar bunga warna-warni berbagai jenis yang sangat terawat, seluas 50 ribu meter persegi. Orang-orang tergopoh-gopoh berlarian berebut pintu kecil menghambur ke taman berfoto-foto.

Berfoto di hampir setiap putik bunga dengan berbagai gaya dan fose menggunakan kamera smartphone. Seperti lupa waktu, karena sudah menjelang dzuhur taman bunga yang indah yang membuat lupa kalau gaji pensiun itu cuma seberapa, kami tinggalkan. 

Kebun Mawar Situhapa (Sumber: dokumen probadi)
Kebun Mawar Situhapa (Sumber: dokumen probadi)
Rombongan mobil berangkat lagi menuju Vila tempat acara utama di Kadungora. Dari bisik-bisik aku mendengar bahwa rombongan akan mampir di Sukaregang -sentra kerajinan kulit, khas Garut. Sebentar saja, sekedar cuci mata, katanya. Makan siang terlewat sedikit, tak apalah katanya.

Faktanya, cuci mata itu tak semudah cuci muka. Sudah diberi waktu satu jam tidak cukup. Setelah batas waktu terlewati masih banyak yang terjebak di lorong-lorong pasar. Setelah kembali berkumpul di tempar parkir hanya beberapa belanja terumpah kulit. Yang lain hampir semua menenteng kantung kresek hitam berisi buah alpukat. Aku membeli 4 kilogram alpukat di emperan pasar kerajinan kulit seharga 50 ribu. Harga kawan.

Kupikir mobil akan langsung melaju ke vila untuk beristirahat. Rupanya tidak jauh dari sentra kerajinan kulit sopir membelokannya ke sentra oleh-oleh khas Garut. Kami semua turun untuk memborong dorokdok -kerupuk kulit. Cukup dengan uang recehan bisa membawa pulang sekantung plastik besar. Tambahnya membeli sedikit dodol.

Dorokdok (Sumber: Dokumen Pribadi)
Dorokdok (Sumber: Dokumen Pribadi)
Terdengar suara adzan ketika seluruh mobil memasuki halaman vila di pinggir sawah di Kadungora. Hujan turun sedikit deras, banner besar bertuliskan, "Bahagia di Usia Senja" menggigil kedinginan. Kursi-kursi plastik berwarna hijau pupus sebagian basah terkena air hujan, tempias dari ujung tenda yang berdiri di halaman vila. Semua peserta bergegas masuk ke dalam ruangan, udara dingin. Di meja kecil di teras belakang yang terhubung dengan ruang makan dan dapur terdapat meja kecil yang di atasnya diletakkan kontainer stainless berisi minuman bajigur. 

Aku mengambil gelas plastik yang ditaruh berjejer di sampingnya lalu mengisinya dengan bajigur panas untuk menghangatkan tubuh. Sementara yang lain banyak yang langsung menyerbu meja makan, tidak tahan dengan perut yang sudah melipat menahan lapar sejak sepulang dari taman bunga.

Menu makan siang itu "aku banget" pikirku. Sayur lodeh, tempe bacem, karedok, baby nila goreng garing, sambal tomat dan lalab rebusan: labu siam, pare, dan kubis. Aku menaruh gelas bajigur yang baru separuh diminum lalu mengambil piring nasi.

Sehabis makan sebagian duduk di ruang tengah menghadap keyboard, sebagian yang lain mengobrol di teras depan, sisanya di teras belakang mengantuk. Peserta yang lebih duluan makan yang hobi bernyanyi dan berjoged tanpa harus disuruh-suruh langsung bernyanyi dan berjoged.

Sebagian yang masuk ke perut sudah habis dicerna. Apa yang harus dikhawatirkan? Sebelum pukul 5 sore kami kembali ke Bandung. Kabin Toyota Hiace yang tadi pagi beberapa kursinya kosong sore itu disesaki beberapa ikat petai, beberapa kantung alpukat dan plastik-plastik besar isi dorokdok. Biasanya sepulang piknik itu selalu dihantui tagihan kartu kredit, sore itu kekhawatiran itu tidak ada. 

Seikat petai yang tersipu-sipu, alpukat dengan senyum simpulnya serta dorokdok yang tak ada malu tertawa terbahak-bahak selama perjalanan pulang, kesemuanya menyadari kemampuan kami orang pensiunan. Mereka dengan bijak tak berani menguras dompet. Aku baru percaya bahwa cukup dengan 100 ribu bisa rekreasi sehari penuh. Penuh bahagia. 

Tak kalah dengan piknik dengan biaya jutaan ditambah meninggalkan tagihan kartu kredit. Uang dan kekayaan mungkin hanya boleh dimiliki segelintir orang saja, tetapi kebahagiaan -kalau mau, milik semua orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun