Inkonsistensi yang akan saya kupas dalam artikel ini "tersedia" dalam beberapa kategori. Selamat menikmati.
Sejak kapan "en" bisa berubah menjadi "an"? Jawabannya, sejak, misalnya, "enthusiasm" diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia menjadi "antusiasme" (kegairahan, semangat yang besar, dll). Demikianlah, enthusiast pun menjadi antusias, yang malah dijadikan sebagai kata sifat (seharusnya: entusiastik).
Kenapa ini menjadi sebuah inkonsistensi? Berkali-kali saya katakan, karena kaidah dasar tidak ditetapkan dengan jelas, atau kalau pun sudah ditetapkan, tidak diikuti secara tertib, sehingga ada saja pengecualian yang mengannihilasi kaidah tersebut. Dalam hal ini sebenarnya pilihan yang tepat yang bisa menjadi kaidah dasar adalah mengadaptasi bentuk atau bunyi?
Kata-kata yang diawali dengan "en" lazimnya tetap "en," misalnya:
1. Encyclopedia menjadi ensiklopedia.
2. Endoscopy menjadi endoskopi: penyisipan sebuah tabung tipis panjang langsung ke dalam tubuh untuk mengamati organ atau jaringan internal secara rinci.
3. Entomology menjadi entomologi: ilmu tentang serangga.
4. Entrepreneur menjadi enterprenir: wiraswasta, dll.
Sejauh ini inkonsistensi yang saya temukan adalah pada kata antusiasme di atas.
Prioritas yang Dilebarkan
Salah sebuah kaidah dasar bahasa Indonesia untuk adopsi istilah adalah bahwa jika kita punya lebih dari 1 pilihan bahasa, yang menjadi top priority adalah bahasa Inggris.
Yang mengherankan adalah semakin hari semakin banyak inkonsistensi dalam hal ini.
Tidak jadi masalah jika prioritas dilebarkan ke mana-mana, namun saya sangat menyayangkan inkonsistensi susulan dan bahkan pemaknaan istilah yang keliru.
Contohnya adalah istilah "cuan" dan "ciamik" yang diadaptasi dari dialek Hokkien yang pemaknaan sudah lari menjauhi pemaknaan dalam bahasa asalnya (masih banyak contoh lain).