Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sila Ke-2 dalam Bermasyarakat

2 Juni 2021   20:02 Diperbarui: 2 Juni 2021   20:21 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://citywise.org/importance-fairness/

Menindaklanjuti berita di media sosial tentang orang yang membutuhkan bantuan, dia juga menyalurkan sumbangan, walaupun dia sama sekali tidak mengenal orang itu.

Singkat cerita, dia menggunakan neraca yang tepat untuk menimbang keadilan yang dia berikan kepada orang lain maupun keadilan yang dia dapatkan dari setiap kegiatan hidupnya, karyawan yang cukup diberi UMR dia berikan upah melebihi UMR plus uang makan, dan karyawan yang pekerjaannya strategis diberi penghargaan berlebih sesuai dengan hasil kerja dan gagasan yang dia kontribusikan kepada perusahaan.

Jadi setiap karyawan dinilai sesuai proporsi kontribusi tenaga, pikiran, tanggung jawab, dan gagasannya, dan pemenuhan prasyarat berupa kompetensi, kejujuran dan pemeliharaan hubungan yang baik dengan semua orang di dalam perusahaan.

Di sisi lain saya juga menyaksikan ketimpangan-ketimpangan dalam distribusi keadilan sebagai berikut:
1. Apakah adil jika seorang bos menzalimi karyawan yang dalam penglihatannya adalah wong cilik yang mudah dizalimi? Misalnya dengan menahan ijazah asli yang dikembalikan ketika karyawan tersebut berhenti dengan "baik-baik," atau memotong uang makan karyawan s/d 30% setiap kali dia terlambat masuk kantor hanya dalam hitungan menit?

Bos baik yang saya ceritakan di atas tak pernah melakukan hal seperti ini, dan karyawan yang suka telat diberi pengarahan sampai peringatan agar dia berubah, dan kalau memang tidak bisa juga barubah, baru dia dijatuhi berbagai macam sanksi, sampai jika terpaksa, diPHK.

Bos ini sendiri meniti karirnya dari seorang pekerja yang lebih banyak mengkontribusikan "tenaga," dan dia sangat paham apa makna uang makan itu bagi seorang karyawan dengan gaji pas-pasan.

Katakanlah Rp. 30.000 per hari, itu lebih dari cukup untuk makan siang. Sebulannya (22 hari kerja) Rp. 660.000, sebagian bisa dialokasikan si karyawan untuk menutupi biaya lain, jika memungkinkan, susu anaknya di rumah.

Bayangkan jika besaran ini dipotong s/d 30%, bagi si karyawan ini adalah sebuah pukulan, dan saya pernah menjumpai seorang karyawan yang bersedia mengkompensasi keterlambatan dengan menawarkan bekerja melampaui jam kerja, agar uang makannya tidak dipotong, tapi sarannya tak pernah disetujui. Ini membuat saya menduga-duga, apakah si bos adalah seorang tukang kumpul uang receh?

2. Adilkah seorang bos mempekerjakan karyawan atas dasar familiisme, nepotisme, atau koncoisme, bukan kompetensi dan kejujuran?

3. Adilkah jika seorang bos memperlakukan karyawan atas dasar favoritisme?

4. Adilkah jika seorang bos hanya tahu punishment dan tidak tahu reward?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun