Pentingnya Keadilan.
Urutan sila-sila Pancasila termasuk aplikasi masing-masing sila telah disusun secara sangat sistematis. Sila ke-2 baru bisa diaplikasikan secara optimal jika sila pertama sudah diamalkan dengan baik, dan di sini sebenarnya penataran P4 itu sangat instrumental,* karena merinci pedoman aplikasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari melalui tahapan mulai dari penghayatan, lalu pengamalannya.
*instrumental = berfungsi sebagai sarana atau alat yang krusial (makna dalam Merriam-Webster Dictionary, belum masuk KBBI).
Ruang lingkup pengamalan sila ke-2, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, juga memiliki tahapan mulai dari pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa Indonesia, bahkan bisa diperluas ke ruang lingkup dunia.
Saya sudah membahas tentang pengamalan sila ke-2 ini dalam ruang lingkup keluarga dalam artikel: Sila Ke-2 dalam Keluarga, sekarang mari kita masuk ke ruang lingkup masyarakat, yang tentunya lebih luas dan lebih kompleks ketimbang keluarga.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Makna kemanusiaan jelas-jelas adalah sifat-sifat manusia, secara manusia, atau sebagai manusia.
Makna adil sudah saya jelaskan sebelumnya, yang antara lain mencakup keseimbangan antara si pemberi dan si penerima keadilan, penggunaan neraca yang terkalibrasi dengan baik, dan neraca yang berbeda untuk menimbang objek yang berbeda.
Beradab, kata dasarnya adab, yang bermakna kehalusan dan kebaikan budi pekerti, kesopanan, atau akhlak. Semakin berkurang adab seseorang, semakin dekatlah dia ke sebuah ambang, yang jika dilewati (ke bawah) akan membuatnya disebut tak beradab alias biadab, yang tentunya sekaligus juga memasuki wilayah "terdehumanisasi," lihat artikel saya: Hikmah Ramadan: Rehumanisasi Mulai dari Diri Sendiri.
Karena saya tidak mau memposisikan diri untuk menilai apalagi menghakimi apakah seseorang sudah atau belum mengamalkan sila pertama, dan dengan demikian sila ke-2, maka saya hanya memberikan beberapa contoh dalam kehidupan bermasyarakat, dan mengganti pernyataan menjadi pertanyaan agar para pembaca sendirilah yang memberikan penilaian.
Di satu sisi, dalam dunia korporat, saya telah menyaksikan bagaimana seorang bos yang taat beragama, baik, berkompetensi, dan mampu menjalin hubungan baik dengan siapa saja atas dasar menjaga keseimbangan antara take dengan give. Sebisa mungkin dia memberi penghargaan sesuai dengan kontribusi masing-masing karyawan, dan ini didasari oleh rasa syukurnya atas bantuan yang telah dia terima dari setiap orang dalam menyukseskan perusahaannya, rasa syukur yang dipedomani oleh ajaran agama yang diyakininya dan sila pertama Pancasila.
Selain itu dia juga aktif berpartisipasi dalam kegiatan bakti sosial, dengan menyumbangkan dana atau produk yang dipasarkan oleh perusahaannya, yang sesuai dengan keperluan baksos.