Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Paradoks Pembatasan Jenis dan Jumlah Bacaan Menurut Usia Anak

19 Mei 2021   03:03 Diperbarui: 19 Mei 2021   03:15 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perpustakaan saya ketika masih berstatus anak kos.

Dibanding beberapa kamus berbahasa Inggris yang menguraikan kata "paradoks" dalam berbagai definisi sampai terlihat membias, KBBI dengan mantap dan jelas mendefinisikannya sebagai: pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran.

Ada beberapa hal menarik yang hendak saya sampaikan di sini:
1. Oleh KBBI, fonem bahasa Inggris "x" dijadikan "ks." Ini sendiri adalah sebuah paradoks, karena justru fonem rangkap 2 atau lebih malah dijadikan tunggal dan menimbulkan kerancuan, lihat artikel saya, antara lain: Surat Terbuka ke-2 untuk KBBI: Konsonan Rangkap Dua.
2. Orang menyadari eksistensi paradoks ini, namun tidak pernah memikirkan cara untuk mengurai benang kusut yang ditimbulkannya. Saya perlu menuliskan beberapa artikel tersendiri untuk menjelaskan hal ini dan menyajikan contoh-contohnya.

Sekarang, terkait dengan urusan buku, saya ingin menyampaikan paradoksnya. Di satu sisi kita benar-benar yakin bahwa otak seorang anak yang masih murni bagaikan selembar kertas yang bisa diisi dengan apa saja, tapi di sisi lain kita juga terpengaruh dengan sebuah pendapat paradoksal bahwa kita jangan terlalu membebani otak sang anak dengan terlalu banyak bacaan. 

Masalahnya apa? Bukankah kita hanya tinggal mengarahkan anak untuk belajar memilih dari sekian banyak bacaan yang ada dan menumbuhkan minat bacanya sendiri? Di sini tampak pembatasan seperti yang saya sebutkan sebelumnya, bacaan harus dari buku, bacaan anak SD harus berupa buku SD, dll.

Saya tidak pernah mengalami paradoks ini karena beberapa alasan:
1. Pilihan bacaan saya, katakanlah semasih di SD, sangat banyak, karena di rumah kami ada perpustakaannya. Dengan demikian, paradoks berupa pembatasan jenis dan jumlah bacaan tidak berlaku bagi saya.
2. Pada saat itu, ayah saya mengalami kebangkrutan, dan kalau beliau tidak membiarkan saya membaca bacaan yang ada, pilihan beliau adalah membelikan buku-buku lain.

Jadi, ditambah lagi dengan saudara-saudari saya yang tidak mengasah minat baca mereka, sepertinya saya adalah pewaris tunggal perpustakaan almarhum kakek kami. Saya sungguh beruntung.

Dalam artikel-artikel saya sebelumnya, saya juga sudah menceritakan bahwa selain buku-buku dan majalah-majalah berbahasa Inggris dalam perpustakaan kami, saya pun mulai membaca cersil-cersil Kho Ping Hoo ketika masih di SD kelas 4. Kenapa? Karena kalau saya punya cukup uang pun, saya tidak akan membeli majalah anak-anak seperti Bobo, komik, dsb, karena:
1. Dengan uang dalam jumlah yang sama, saya bisa menyewa cersil dari pak Ahmad Merbuk maupun adik beliau, Pak Len, dengan isi bacaan yang jauh lebih banyak.
2. Dengan terbiasanya saya membaca cersil dan uraian filosofisnya, majalah dan komik menjadi bacaan yang terlalu ringan bagi saya. Di sinilah terlihat manfaat membaca bacaan yang melampaui usia saya, dan saya tidak pernah merasa bahwa saya punya masa kecil yang kurang bahagia dibanding teman-teman seusia saya yang bacaannya "mainstream."

Contoh bacaan saya pada waktu itu adalah "What is Democracy" yang saya sebutkan dalam artikel Membaca Sejak Usia Dini, dan karena saya selalu lebih banyak membaca (4-5 kali teman-teman saya), saya pun sudah melahap habis buku paket Matematika XII-A SMA, buku pembelajaran untuk semester terakhir, ketika saya baru memasuki semester III. Buku-buku paket "di atas" semester saya itu saya pinjam dari perpustakaan sekolah, kemudian saya mulai membeli dan membaca buku-buku universitas, misalnya Kalkulus karya Prof. Dra. Noenik Sumartojo. Itulah alasan kenapa saya bisa menulis artikel-artikel yang seyogyanya ditulis oleh guru, antara lain: Love 3D.


Masih banyak pengalaman saya sejak kecil ini yang tak mungkin saya bagikan dalam 1 artikel.

Seorang teman saya pernah membagikan kiat memperoleh bacaan tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun, "Kalau di tengah jalan kau melihat ada koran bekas atau majalah bekas, kutiplah."

Ketika hendak menyelesaikan pendidikan SMA, saya pernah meminjam sebuah buku kimia terbitan Malaysia dari guru kimia saya yang pernah mengajar di sana. Karena ingin memiliki buku ini, saya pun meminta izin sang guru untuk memfotokopinya. Ketertarikan saya akan buku ini bukan karena isinya yang kurang lebih sama dengan buku terbitan Indonesia, tapi karena bahasanya yang terdengar "lucu" di telinga kita, misalnya:
Kadar tindak balas berkadar terus dengan kadar bahan-bahan tindak balas.
(Kecepatan reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi reaktan)

Kini, definisi dalam kedua bahasa ini telah mengalami pemutakhiran, namun saya masih lebih suka menggunakan definisi yang sudah lengket di otak saya. Hanya kata-kata yang digunakan yang agak berbeda, tapi esensinya tidak berubah.

Saya mendukung penuh minat baca Putri, apa pun jenis bacaannya dan berapa pun jumlahnya. Daya seleksi Putri hanya Putri yang lebih tahu, demikian pula pengaturan waktu kapan membaca buku pembelajaran dan kapan pula novel-novel atau bacaan lain, kapan membaca buku cetak dan kapan pula e-book, yang penting: MEMBACA.

Terakhir, keseimbangan dalam segala hallah yang harus dijaga, bak kata guru olahraga SMP saya, 
"yang lurus banyak gunanya, yang bengkok ada gunanya." 

Mari kita jadikan Hari Buku Nasional sebagai penambah semangat membaca ke depannya.

Jonggol, 19 Mei 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun