Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Saat Ramadan di Warung Nasi dalam Gang Sempit

5 Mei 2021   10:41 Diperbarui: 10 Mei 2021   07:22 1324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warung Nenek, 12 Januari 2010.

Setelah menulis artikel saya yang sebelum ini, saya ambil waktu berehat dan ketika terbangun, seakan saya membawa sadar sebuah mimpi singkat tentang sebuah warung nasi.

dokpri
dokpri
Depan Gang Senina, Padang Bulan, Medan, 12 Januari 2010.

dokpri
dokpri
Gang Senina, Padang Bulan, Medan (belok 10 meter ke kanan adalah Warung Nenek), 12 Januari 2010.

Warung nasi ini dikelola oleh seorang kakek dan istrinya, namun yang lebih dikenal orang sekitar warung ini adalah sang nenek. Setiap hari, warung ini penuh kesibukan, utamanya menjelang waktu sarapan, makan siang maupun makan malam, dapurnya terus ngebul mengeluarkan aroma aneka masakan kesukaan pelanggan.

dokpri
dokpri
Warung Nenek, 12 Januari 2010.

dokpri
dokpri
Dapur Warung Nenek, 12 Januari 2010.

Warung Nenek, demikian warung ini disebut, terletak di dalam sebuah gang sempit yang bernama Gang Senina (bahasa Karo untuk: Saudara), di wilayah Padang Bulan, Medan, di sekitar kampus USU. Pelanggan warung ini kebanyakan mahasiswa, termasuk beberapa teman kuliah yang kos di Gang Senina, satu di antara mereka bahkan persis di depan Warung Nenek. Saya ingat betul nomor rumah kos itu, Gang Senina No. 8.

Pelanggan ini terbagi ke dalam 2 kelompok:
1. Bayar Bulanan, pelanggan yang makan dengan bayaran untuk sebulan, entah di awal maupun di akhir bulan (berhutang sebulan), jatuhnya lebih murah dibanding bayar setiap kali makan.
2. Pelanggan biasa (termasuk saya) yang bayar setiap kali habis makan.

Di luar jam makan, Warung Nenek juga menyediakan gorengan setiap hari sehingga menjadi tempat berkumpul, ngofi dan kongko para mahasiswa yang membicarakan segala macam topik, mulai dari perkuliahan sampai isu hot yang sedang beredar.

Warung nenek berdiri sejak tahun 1960-an dan tak ternilai peranannya dalam menunjang kehidupan mahasiswa/mahasiswi USU. Banyak mahasiswa setelah lulus sengaja datang lagi ke warung itu untuk  merayakan keberhasilan mereka sekaligus menyampaikan terimakasih kepada kakek dan nenek. Hampir tidak ada di antara mereka yang tidak pernah sesekali mengalami keterlambatan pengiriman uang bulanan dari kampung, dan kakek dan neneklah yang membantu mereka, setidaknya mengizinkan penundaan pembayaran makan bulanan, kadang bahkan meminjamkan sedikit uang untuk menutupi biaya harian lainnya.

Bumi berputar
Musim berganti
Zaman beredar

dokpri
dokpri
Cucu Nenek sedang Memasak di Dapur Warung Nenek, 12 Januari 2010.

dokpri
dokpri
Hasil Masakan Dapur Warung Nenek, 12 Januari 2010.

Setamat kuliah dari USU, dan hampir setiap kali saya ke Medan, saya menyinggahi Warung Nenek untuk mencicipi makanan sederhana tapi penuh nostalgia, atau sekadar menikmati singkong goreng ditemani secangkir kofi hitam. Namun semua itu hanya bisa saya lakukan sendirian, dan kenangan akan teman-teman dan masa lalulah yang menjadi teman imajinatif saya. Kakek dan nenek masih sempat beberapa kali menemani saya ngobrol.

Tahun demi tahun berlalu dan kakek, lalu nenek telah berpulang. Warung nenek berganti pengelola ke salah seorang putri mereka, Mbak Painah yang biasa saya sapa Yuk Painah, lalu ke cucu perempuan mereka.

Tanggal 12 Januari 2010 ketika saya ke Warung Nenek lagi, saya ambil beberapa foto sebagai kenangan hidup dan kemudian saya bagikan ke medsos. Semua teman saya yang punya kaitan masa lalu dengan warung ini merasa sangat terharu dan menyampaikan angan-angan bahwa betapa indahnya kalau kami semua bisa kembali ke masa lalu itu dan mengulang pengalaman kami.

Satu pokok pembicaraan adalah satu hal yang paling kami ingat tentang nenek, yaitu tradisi beliau menghidangkan panganan pengantar berbuka puasa: gorengan, aneka kolak, dan aneka es buah, semuanya GRATIS SETIAP RAMADHAN SETIAP TAHUN, dengan satu dan tidak ada syarat lain: PENGUNJUNG WARUNG. Hidangan ini malah kubota (kurang boleh tambah).

Satu kunjungan ke Warung Nenek setelah tahun 2010 itu adalah kunjungan terakhir saya ke sana, karena Yuk Painah dan suaminya pun sudah meninggal dunia, dan Warung Nenek juga sudah tiada untuk selama-lamanya, dijual ke orang lain yang merenovasinya menjadi sebuah rumah kediaman.

Semua kerinduan kami akan Warung Nenek, kakek, nenek dan masakan mereka, terutama di setiap bulan Ramadhan, hanya bisa kami obati dengan memandang foto-foto itu, yang sekarang saya share melalui artikel ini.

Addendum Pasca Tayang:
Yusuf Ritonga, adik saya, anak umi angkat saya, Roslina Siregar di Tanjungbalai Asahan,  memberitahu saya bahwa dia pernah bayar makan pada 2010 di Warung Nenek, Rp. 360.000 per bulan.


Jonggol, 5 Mei 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun