Izinkan saya bercerita. Ini bukan sekadar keluhan, melainkan sebuah potret perjuangan di atas rel baja yang menghubungkan dua kota penuh denyut, Solo dan Yogyakarta. Saya adalah satu dari ribuan pelaku UMKM di Solo, dengan tempe dan olahannya sebagai tumpuan hidup. Dan bagi saya, Commuter Line Yogyakarta adalah urat nadi.Setiap pagi, saat fajar baru menyingsing, saya sudah berjibaku dengan pesanan. Bukan satu atau dua, tapi sering kali 10 hingga 15 pesanan dari pelanggan setia di Yogyakarta. Setelah dikemas rapi, tumpukan harapan itu berwujud paket seukuran empat galon air mineral, dengan bobot sekitar 15 kilogram.
Mengapa tidak pakai jasa ekspedisi? Pertanyaan yang sering saya dengar. Jawabannya sederhana: ekonomi. Jika ongkos kirim yang mahal itu saya bebankan pada harga, tempe saya akan kalah bersaing. Pelanggan akan lari. Maka, satu-satunya jalan agar dapur tetap mengepul adalah dengan mengantarkannya sendiri.
Di sinilah kisah manis saya dengan Commuter Line dimulai.
Melodi Efisiensi di Atas Rel Baja
Bayangkan skenario ideal ini: dengan ongkos hanya Rp8.000, saya bisa melesat dari Stasiun Palur ke Stasiun Maguwo dalam waktu kurang dari satu jam. Pulang-pergi, hanya Rp16.000. Dari Maguwo, petualangan saya berlanjut menyusuri kota dengan bus Trans Jogja, bertemu pelanggan dari halte ke halte untuk transaksi COD.
Total waktu yang saya butuhkan? Sekitar lima hingga enam jam. Dua jam untuk perjalanan kereta pulang-pergi, sisanya untuk berkeliling Jogja. Badan tidak remuk, karena seluruh perjalanan ditopang oleh moda transportasi umum yang nyaman. Saya bisa pulang ke Solo dengan sisa tenaga untuk kembali berproduksi esok hari. Commuter Line, dalam skenario ini, adalah pahlawan tanpa tanda jasa bagi ekonomi kecil kami.
Namun, melodi indah itu sering kali berhenti mendadak. Berganti dengan denting pahit penolakan di gerbang masuk stasiun. Beberapa kali, langkah saya terhenti oleh petugas. Alasannya satu: barang bawaan saya dianggap terlalu besar.
"Maaf, Pak/Bu, tidak bisa masuk."
Dua kata itu cukup untuk meruntuhkan seluruh rencana efisiensi yang sudah saya susun. Mimpi indah berganti menjadi mimpi buruk. Urusan yang seharusnya sederhana menjadi panjang, ribet, dan melelahkan. Ketika gerbang itu tertutup, saya tahu hari itu akan menjadi hari yang kontraproduktif.
Saya terpaksa putar balik, menyalakan kendaraan pribadi. Perjalanan Palur-Yogyakarta yang tadinya hanya 50 menit, membengkak menjadi 7 hingga 8 jam pulang-pergi di hari normal. Jika lalu lintas sedang padat, bisa sampai 12 jam. Tambahkan 3-4 jam untuk berkeliling Jogja, hitung sendiri berapa jam produktif saya yang hangus di jalan.
Ini bukan lagi soal waktu. Ini soal biaya bahan bakar yang membengkak, soal badan yang letih lunglai, dan yang paling menyakitkan, soal hilangnya kesempatan untuk berproduksi dan meraih keuntungan. Satu hari yang terbuang di jalan berarti satu hari tanpa produksi.