Mohon tunggu...
Sigit Purwanto Ipung
Sigit Purwanto Ipung Mohon Tunggu... CEO and Founder Tempe Pinilih

bersama sebotol ciu menikmati hidup dan merayakan cinta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mikul Dhuwur Mendhem Ciu

23 Juni 2025   05:40 Diperbarui: 23 Juni 2025   05:40 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memimpin bangsa Indonesia pada hakikatnya adalah sebuah tugas yang sederhana. Kesederhanaan ini berakar pada fondasi karakter bangsa yang memiliki modal sosial luar biasa, seperti semangat gotong royong, tingkat toleransi yang tinggi, dan daya tahan (resiliensi) dalam menghadapi berbagai krisis. Secara teoretis, seorang pemimpin yang datang dengan itikad baik, transparansi, dan program yang berorientasi pada kepentingan bersama akan menemukan lahan subur dalam partisipasi publik. Rakyat pada dasarnya mendambakan keteraturan, keadilan, dan kemajuan, sehingga kepemimpinan yang tulus akan lebih mudah mendapatkan legitimasi dan dukungan.

Kompleksitas dan kesulitan yang sesungguhnya mulai muncul ketika niat untuk melayani publik tercemari oleh agenda tersembunyi, yang secara lugas disebut sebagai "menyembunyikan hasil colongan". Istilah kolokial ini merujuk pada praktik korupsi, penyelewengan kekuasaan, dan akumulasi kekayaan secara tidak sah. Pada titik inilah, energi seorang pemimpin tidak lagi terfokus pada tata kelola pemerintahan yang efektif, melainkan pada upaya sistematis untuk mengamankan dan menyembunyikan keuntungan pribadi atau kelompoknya.

Upaya penyembunyian ini melahirkan serangkaian tindakan yang secara inheren membuat kepemimpinan menjadi rumit. Pertama, birokrasi sengaja dibuat berbelit dan tidak transparan untuk mengaburkan jejak aliran dana dan keputusan. Kedua, institusi penegak hukum dan lembaga pengawas (seperti KPK, kejaksaan, atau lembaga audit) berpotensi dilemahkan atau diintervensi agar tidak mampu menjalankan fungsinya secara independen. Ketiga, meritokrasi dalam penempatan pejabat publik digantikan oleh nepotisme dan kronisme, karena yang dibutuhkan bukanlah kompetensi, melainkan loyalitas untuk menjaga rahasia.

Implikasinya bersifat sistemik dan destruktif. Kebijakan publik tidak lagi dirancang untuk efektivitas, melainkan untuk mengakomodasi kepentingan tersembunyi. Polarisasi sosial terkadang sengaja diciptakan sebagai strategi pengalihan isu (deviasi) agar perhatian publik teralihkan dari skandal korupsi ke konflik horizontal. Energi bangsa yang seharusnya digunakan untuk inovasi dan pembangunan terkuras habis oleh drama politik yang diciptakan untuk menutupi kebobrokan.

Jadi kesulitan memimpin Indonesia bukanlah kesulitan teknokratis dalam mengelola negara kepulauan yang majemuk. Sebaliknya, ia adalah kesulitan yang lahir dari krisis integritas. Beban untuk terus-menerus merekayasa kebohongan, membangun alibi, dan mempertahankan jejaring koruptif inilah yang mengubah tugas mulia memimpin bangsa menjadi sebuah pekerjaan yang teramat sulit dan melelahkan. Pada akhirnya, kepemimpinan yang jujur dan berintegritas akan menemukan jalannya sendiri menuju kesederhanaan, karena ia selaras dengan nurani dan harapan terbesar rakyatnya.

Memaafkan Bukan Melupakan

Salah satu paradoks yang paling menonjol dalam lanskap sosiopolitik Indonesia adalah karakter kolektif bangsa yang cenderung mudah memaafkan "dosa-dosa" para pemimpinnya. Fenomena ini bukanlah cerminan dari kelemahan, melainkan berakar pada jalinan kompleks nilai-nilai budaya dan religius. Kultur paternalistik yang masih kuat memposisikan pemimpin sebagai sosok "orang tua" atau "sesepuh" yang kesalahannya dapat dimaklumi. Diperkuat oleh ajaran agama yang menekankan pentingnya pengampunan (maaf) dan kearifan lokal seperti "mikul dhuwur mendhem jero" (menjunjung tinggi kebaikan, mengubur dalam-dalam keburukan), masyarakat sering kali menunjukkan magnanimitas yang luar biasa. Seorang pemimpin yang terjerat skandal korupsi atau mengeluarkan kebijakan kontroversial bisa jadi mendapatkan kembali simpati publik hanya dengan gestur simbolis, permohonan maaf, atau program populis sesaat. Siklus kemarahan publik seringkali bersifat temporer, mudah surut, dan digantikan oleh harapan baru.

Akan tetapi, di balik fasad pemaaf ini, tersembunyi sebuah kebenaran yang tak terbantahkan: melupakan dosa-dosa itu adalah sebuah kemustahilan. Memaafkan adalah tindakan emosional dan spiritual yang bersifat personal atau komunal dalam jangka pendek, sementara melupakan adalah proses kognitif yang gagal terjadi ketika jejak pelanggaran tersebut terpatri secara permanen dalam struktur sosial, ekonomi, dan hukum. "Dosa" seorang pemimpin dalam bentuk kebijakan yang koruptif atau tidak adil akan meninggalkan luka sejarah (historical scars) yang abadi. Utang negara yang membengkak, kerusakan lingkungan yang tak terpulihkan, ketidaksetaraan akses terhadap keadilan, atau trauma akibat pelanggaran hak asasi manusia adalah monumen hidup dari kesalahan masa lalu.

Memori kolektif ini terus hidup dan diwariskan, meskipun tidak selalu menjadi narasi dominan. Ia tersimpan dalam arsip-arsip sejarah alternatif, dalam karya sastra dan seni, dalam diskusi-diskusi di ruang akademik, dan yang terpenting, dalam pengalaman pahit yang dirasakan oleh generasi penerus. Memori ini berfungsi sebagai "rekening historis" yang belum lunas. Ia bisa saja tertidur atau sengaja ditidurkan oleh narasi kekuasaan, tetapi ia tidak akan pernah benar-benar hilang.

Dalam dinamika politik, memori yang tak terlupakan ini menjadi sebuah variabel laten yang sangat kuat. Ia dapat meledak menjadi gerakan sosial ketika dipicu oleh krisis baru yang mengingatkan pada pola lama. Ia menjadi amunisi politik bagi lawan untuk mendelegitimasi petahana, membuktikan bahwa meskipun masyarakat telah "memaafkan", catatan sejarah pelanggaran itu tetap menjadi referensi moral dan politik. Dengan demikian, karakter bangsa Indonesia menampilkan sebuah dualisme yang unik, hati yang lapang untuk memberi maaf, namun ingatan yang tajam untuk menolak amnesia. Keseimbangan antara dua kutub inilah yang terus-menerus membentuk dan mewarnai perjalanan demokrasi bangsa.

Eskapisme Ciu

Dengan demikian, proposisi ini membawa kita pada sebuah kesimpulan yang lebih radikal: fasad kearifan lokal "mikul dhuwur mendhem jero" telah kehilangan relevansinya dalam diskursus publik kontemporer. Filosofi yang dahulu berfungsi sebagai perekat sosial dan mekanisme penghormatan terhadap otoritas, kini justru dilihat sebagai alat untuk melanggengkan impunitas. Ia dianggap sebagai selubung budaya yang menuntut rakyat biasa untuk "mengubur dalam-dalam" luka dan kerugian yang diakibatkan oleh para elite, sementara para elite itu sendiri terus "dijunjung tinggi" tanpa akuntabilitas yang sepadan.

Pergeseran ini melahirkan sebuah subversi semantik yang luar biasa sinis, sebagaimana tergambar dalam adagium tandingan dari akar rumput: "mikul dhuwur mendhem ciu". Ungkapan ini, yang lahir dari pengalaman nyata di level komunal seperti di sebuah perkampungan, adalah sebuah diagnosis sosial yang pedas. "Mendhem jero" (mengubur dalam-dalam) yang bersifat metaforis telah digantikan oleh "mendhem ciu" (mabuk oleh ciu), sebuah tindakan yang sangat konkret dan visceral. Ciu, atau sebut saja anggur tradisional Jawa, di sini tidak lagi sekadar minuman, melainkan bertransformasi menjadi sebuah metafora untuk anestesi sosial dan psikologis.

Fenomena "mendhem ciu" ini dapat dianalisis sebagai bentuk perlawanan pasif (passive resistance) atau, lebih tepatnya, sebuah strategi bertahan hidup (coping mechanism) di tengah impotensi politik. Ketika memori kolektif tentang "dosa-dosa pemimpin" terus-menerus menimbulkan gejolak batin, sebuah campuran antara kemarahan, kekecewaan, dan ketidakberdayaan, namun saluran untuk menyuarakan aspirasi dan menuntut keadilan terasa tersumbat, maka masyarakat mencari cara untuk menenangkan jiwa. Eskapisme melalui "ciu" menjadi jalan pintas untuk meredam disonansi kognitif antara harapan ideal akan kepemimpinan yang adil dan realitas kepemimpinan yang koruptif. Eskapisme adalah kecenderungan seseorang untuk menjauhkan diri dari kenyataan hidup sehari-hari yang dirasa sulit atau tidak menyenangkan, dengan mencari pelarian melalui aktivitas atau imajinasi.

Lebih jauh lagi, praktik ini mencerminkan sebuah pragmatisme yang kelam. Masyarakat seolah-olah sampai pada sebuah kesepakatan tak tertulis, "daripada menghabiskan energi untuk marah dan berkonflik tanpa hasil yang jelas, lebih baik menenangkan diri, menumpulkan rasa sakit, dan kembali fokus pada perjuangan hidup yang paling mendasar, bekerja keras untuk menatap masa depan." Ini adalah bentuk depolitisasi yang dipaksakan oleh keadaan. Politik tidak lagi dilihat sebagai arena untuk memperjuangkan kebaikan bersama, melainkan sebagai sebuah panggung sandiwara elite yang bising dan menyakitkan, yang lebih baik diabaikan demi kesehatan mental dan kelangsungan ekonomi pribadi.

Pada akhirnya, transformasi dari "mendhem jero" menjadi "mendhem ciu" adalah sebuah lonceng kematian bagi kontrak sosial yang berbasis pada kepercayaan dan penghormatan. Ia menandakan era di mana rakyat tidak lagi menaruh harapan pada perbaikan sistemik dari atas, melainkan memilih untuk mengelola kekecewaan mereka secara individual. Kepemimpinan tidak lagi ditakuti atau dihormati, melainkan hanya ditoleransi dengan bantuan "anestesi" agar kehidupan sehari-hari dapat terus berjalan. Inilah potret masyarakat yang telah lelah memaafkan dan tak mampu melupakan, sehingga memilih jalan ketiga, mengebiri rasa sakitnya sendiri.

BTW, rumah saya 4,5 kilometer dari pusat produsen ciu terkenal. Mau pesen?

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun