Masih terbayang ketika MUI dengan sangat tergesa-gesanya menjatuhkan fatwanya tanpa melalui proses tabayun dan tanpa memikirkan imbas kegaduhan yang bakal ditimbulkan setelah fatwanya dipublikasikan ke ranah umat kepada salah satu pejabat negara yang kebetulan non muslim yang serta merta menjustis telah melakukan penistaan terhadap Surah al-Maidah 51.Â
Idealnya segenab pengurus MUI jika tidak ingin disebut telat sudah saatnya mau terbuka melakukan ekstropeksi sebagai studi kasus kepada realitas yang terjadi betapa di negara-negara Islam saja yang menempatkan syariat Islam sebagai hukum positip Negara tetap menjaga ekstra keras ukhuwah kebersamaan pada setiap perbedaan di luar Islam.Â
Mesir sebagai Negara Islam tidak pernah mempergaduhkan keyakinan dari Boutros-Boutros Ghali  yang beragama Nasrani sebagai Menteri Luar Negeri selama 14 tahun. Pakistan sebagai  Negara Islam juga tidak pernah mempergaduhkan  keyakinan dari Kamran Michael yang beragama  Nasrani sebagai Menteri Perhubungan (2013-2016). Lebanon  sebagai  Negara Islam sudah dua kali memiliki Presiden yang menganut  Agama Nasrani, seperti Michel Sulaiman sebagai Presiden yang menjabat selama periode 2008-2014 dan Michel Aoun  sebagai  Presiden yang menjabat di periode sekarang. Turki satu-satunya Negara Islam di benua Eropa juga tidak pernah mempergaduhkan keyakinan yang dianut  Februniye Akyol yang beragama Nasrani  sebagai wakil walikota di kota  Mardin. Palestina sebagai Negara Islam juga tidak pernah mempergaduhkan keyakinan dari Janet Mikhail  yang beragama Nasrani  sebagai walikota di kota  Ramallah. Senegal  sebagai  Negara Islam di  benua Afrika juga tidak pernah mempergaduhkan  keyakinan dari  Leopold Sedar Senghor yang beragama  Nasrani  sebagai Presiden yang menjabat selama 20 tahun (1960-1980).Â
Lantas mengapa di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang multikultural, menganut semboyan  Bhinneka Tunggal Ika dan notabene bukan Negara Islam justru malah mempergaduhkan anak bangsanya sendiri yang ingin mencalonkan sebagai Gubernur DKI Jakarta hanya gara-gara keyakinan yang dianutnya non muslim?Â
Akhirulkalam, kita lupakan sejenak fatwa MUI perihal mengharamkan ummat muslim untuk menggunakan atribut Natal. Sekarang kembali kepada akal sehat kita sebagai anak bangsa yang dibesarkan di negeri yang multikultural ini. Saya menjadi teringat kepada mendiang Ahmad Wahib (1942-1973) Â dalam pesannya yang tertulis di catatan hariannya tertanggal 25 Desember 1972: Â Hari ini adalah hari Natal. Kepada saudara-saudaraku beragama Kristen ingin kusampaikan rasa ikut berbahagia dan simpatiku pada kesungguhan mereka menerima pesan Natal. Banyak kawan-kawan di kalangan Kristen dan Katolik yang tidak sempat kukirimi surat ucapan selamat. Surat itu bukan formalitas. Dia punya arti bagi persahabatan dan pembinaan saling menghargai.