Ketika Guru SD Takjub pada Ai: Kunci Bukan Teknologi , Tapi Pendekatan Manusiawi
Saya baru saja mendampingi para guru SD dalam pelatihan coding dan kecerdasan buatan (AI). Pelatihan ini bukan tentang mencetak "ahli teknologi", melainkan tentang memberi ruang aman agar para guru bisa bereksplorasi dengan nyaman... dan ternyata, hasilnya jauh melampaui ekspektasi saya.
Wajah-wajah Takjub Itu
Hari pertama pelatihan, banyak guru terlihat tegang. Ada yang bilang, "Saya gaptek, Pak." Ada yang setengah berbisik, "Ini bukan untuk guru SD, ya?" Tapi ketika konsep seperti machine learning dan teachable machine dijelaskan dengan bahasa yang sederhana dan aplikatif, ekspresi mereka mulai berubah.
Senyum malu-malu muncul. Tawa kecil pecah. Dan akhirnya... muncullah ekspresi yang paling saya tunggu: takjub.
Salah satu guru berkata pelan,Â
"Ini bisa dipakai buat ngajarin anak-anak saya, Pak..."
Di titik itu saya tersadar:
Guru bukan tidak mampu, mereka hanya belum diajak dengan cara yang manusiawi.
Bukan Sekadar Penerima Materi
Selama ini, banyak pelatihan guru yang masih berbasis "transfer of knowledge satu arah". Guru hanya menjadi "peserta" pasif. Padahal, mereka adalah pribadi-pribadi yang terbiasa menjadi fasilitator belajar.
Maka pendekatan saya sederhana:
Kami beri mereka peran ganda sebagai murid, dan sebagai orang tua.
Ketika mereka mencoba membuat project AI sederhana, saya ajak mereka membayangkan... bagaimana jika yang mereka ajar adalah anaknya sendiri? Apa reaksi anak ketika tahu ibunya bisa membuat program AI yang bisa mengenali suara atau ekspresi wajah?
Di sinilah momen paling kuat muncul:
Empati membangkitkan rasa percaya diri.
Dan dari rasa percaya diri itu, tumbuhlah keinginan untuk belajar.
Ruang Aman untuk Bertumbuh
Guru-guru kita sebenarnya sangat adaptif. Mereka terbiasa menyiasati keterbatasan. Yang dibutuhkan bukan pelatihan canggih... tapi ruang aman untuk gagal dan eksplorasi.
Ketika kami memberi ruang untuk bertanya tanpa takut dibilang bodoh, ketika kami validasi rasa takut mereka alih-alih meremehkan, dan ketika kami hadir bukan sebagai 'pengajar ahli' tapi sebagai teman belajar ,barulah kolaborasi bisa tumbuh.
Saya ingat betul satu guru berkata, "Terima kasih sudah bikin pelatihan ini kayak ngobrol santai... jadi berani coba hal baru."
Teknologi yang Membumi
AI bukan sekadar perangkat masa depan. Ia adalah alat bantu yang bisa sangat membumi ,bahkan untuk guru SD di daerah.
Tapi untuk sampai ke sana, pendekatannya tidak bisa sekadar teknis. Harus ada jembatan empatik. Harus ada bahasa yang bisa menyentuh... bukan hanya menjelaskan.
Inilah kunci dari pelatihan kemarin:
Teknologi hanya bisa dipelajari ketika manusianya diberi ruang untuk merasa aman.
Kolaborasi yang Tak Terhentikan
Respons yang saya terima dari para guru begitu menguatkan. Bahkan setelah pelatihan selesai, mereka masih aktif berdiskusi di grup. Beberapa bahkan menginisiasi pelatihan lanjutan sendiri di sekolah masing-masing.
Saya percaya...
Jika para guru diberi kepercayaan dan didampingi dengan pendekatan yang manusiawi, mereka tidak hanya akan menyatu dengan zaman ,mereka akan ikut membentuknya.
Mari terus berjalan bersama. Bukan hanya demi mengejar kemajuan teknologi, tapi untuk membuktikan bahwa ketulusan guru... adalah kekuatan yang tak terkalahkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI