Saat Hari Terakhir Justru Menjadi Awal Kesadaran
Hari terakhir RCC bukanlah perpisahan. Ia justru menjadi ruang pembuka: ruang di mana kami, para asesor, diminta menanggalkan ego, lalu berdiri sebagai penilai atas perangkat buatan sesama peserta.
Tugas kami sederhana di atas kertas: memvalidasi perangkat asesmen, mengecek kelayakannya berdasarkan prinsip VATM --- Valid, Aktual, Terkini, dan Memadai. Namun di ruang itu, saya sadar... ini bukan hanya soal perangkat. Ini soal tanggung jawab pada martabat profesi. Karena perangkat yang kita loloskan akan digunakan untuk menilai orang lain... manusia lain.
Perangkat Bisa Diperbaiki, Tapi Nilai yang Terluka Tak Selalu Pulih
Kami menelusuri soal demi soal, rubrik demi rubrik, instrumen demi instrumen. Prinsip STAR (Situation, Task, Action, Result) menjadi patokan dalam menilai kedalaman soal. Tapi saat membaca soal-soal itu, saya bertanya diam-diam:
Bagaimana jika saya adalah asesi yang menjawabnya?
Akankah saya merasa dimuliakan... atau diuji sekadar sebagai angka?
Validasi bukan hanya proses teknis. Ia adalah proses etis. Karena ketika kita menyetujui sebuah perangkat, kita sedang menandatangani konsekuensi moralnya.
Tentang Mereka yang Dinilai BK(Belum Kompeten): Apakah Kita Pernah Menjadi Mereka?
Salah satu momen paling menyentuh adalah saat master asesor bertanya,
Bagaimana Anda menyampaikan hasil Belum Kompeten kepada asesi?
Ruangan hening. Tak ada jawaban teknis yang cukup. Karena ini bukan soal menyampaikan skor, tapi bagaimana menyampaikan kenyataan tanpa melukai. Saya menjawab dengan refleksi dari pengalaman saya langsung saat melakukan asesmen:
"Saya ajak asesi berefleksi. Saya tidak menyalahkan. Saya hanya menunjukkan bahwa ada celah yang masih bisa ia penuhi nanti. Saya tidak ingin ia pulang dengan perasaan gagal --- tapi dengan harapan untuk kembali."
BK bukan vonis. BK adalah titik evaluasi. Dan asesornya... harus cukup manusiawi untuk menyampaikan itu.
Etika yang Tak Ditulis di Modul
Modul RCC mengajarkan kami tentang instrumen, alat bukti, dan format laporan. Tapi di antara baris-baris modul itu, saya justru belajar tentang integritas batin.
Bahwa kadang, keputusan paling benar bukan yang paling cepat. Tapi yang paling adil. Bahwa perangkat terbaik bukan yang rapi, tapi yang mengundang dialog antara penilai dan yang dinilai. Bahwa nilai paling luhur dari profesi ini bukan "kompeten" atau "belum kompeten", tapi: berani jujur, berani menguatkan.
Kita Bukan Mesin Penilai. Kita Penjaga Harapan.
RCC hari terakhir mengingatkan saya: perangkat bisa diperbaiki, instrumen bisa direvisi, rubrik bisa disempurnakan. Tapi perasaan manusia yang dilukai oleh cara kita menilai --- tak selalu bisa sembuh.
Maka tugas kita bukan sekadar memastikan perangkatnya benar. Tapi juga memastikan hati kita bersih saat menggunakannya.
Ucapan Terima Kasih yang Tidak Akan Cukup dalam Kata
Sebelum saya menutup tulisan ini, izinkan saya menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Master Asesor kami, yang tidak hanya membimbing secara teknis, tapi juga membuka ruang refleksi yang sangat manusiawi.
Di tengah tugas validasi yang padat, beliau hadir dengan pendekatan yang tenang namun tajam, memberi ruang bagi kami untuk belajar — bukan hanya tentang perangkat, tapi juga tentang menjadi manusia yang pantas menilai manusia lain.
Pertanyaan-pertanyaan beliau tidak bersifat menggugurkan, tapi membangkitkan kesadaran. Dan itulah yang membuat RCC ini terasa bukan sekadar pelatihan... tapi perjalanan batin.
Terima kasih, Bu Ratna dan Pak Legiyo. Atas arahannya, kesabarannya, dan kepercayaan yang diberikan kepada kami. Semoga setiap ilmu yang Ibu/Bapak tanam hari ini tumbuh menjadi integritas yang panjang di jalan profesi kami.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI