Hening yang Menghantam
Pukul tiga dini hari. Angin berdesir pelan, tapi cukup menusuk dada. Di sebuah ruang kecil dengan cahaya lampu remang, seorang pria duduk bersandar di dinding. Matanya menatap kosong, tangannya menggenggam selembar kertas lusuh... proposal usaha yang tak pernah dilirik siapa pun.
Tak ada tangisan, hanya napas berat yang tertahan. Dunia seolah menutup telinga dan membiarkannya berbicara sendiri.
Mengapa Selalu Begini?
Dia tak malas. Dia tak bodoh. Dia sudah berusaha. Namun entah mengapa, setiap langkah selalu dihadang oleh tembok tak kasat mata. Semua ide seakan basi sebelum sempat dipresentasikan. Semua janji hanya tinggal pesan yang tak dibaca.
Dan kini, dia hanya duduk, menatap lantai yang dingin, bertanya... adakah yang mendengarnya?
Mungkin Bukan Dunia yang Harus Mendengar
Kadang, kita terlalu sibuk mencari perhatian manusia. Kita mendambakan validasi, dukungan, dan pengakuan dari sesama. Padahal, ada satu tempat yang tidak butuh proposal, tidak butuh presentasi, tidak butuh koneksi.
"Tempat itu bernama sajadah".
Tunggul dan Titik Terendah
Seperti tunggul pohon yang tinggal batangnya, begitulah dia merasa. Semua daun harapan gugur. Tapi di situlah letak keajaibannya. Tunggul yang tertanam, meski diam, masih hidup. Ia bisa tumbuh lagi... jika hujan turun.