Pukul 03.18 dini hari. Seorang programmer membuka laptop dengan kepala masih berat. Bukan untuk kerja lembur. Tapi karena server production down. Dan adzan Subuh tinggal dua jam lagi.
Saya tahu cerita itu karena saya pernah mengalaminya.
Tapi kali ini berbeda.
Ketika jari-jari saya sibuk mengetik perintah ssh, hati saya justru tertegun melihat notifikasi di sudut layar:
"Waktu Tahajud telah masuk."
Mengapa Tahajud dan Debugging Sering Bertemu?
Bagi banyak pekerja digital, waktu sunyi di dini hari adalah saat terbaik untuk fokus. Tidak ada email masuk. Tidak ada klien menghubungi. Tidak ada anak minta susu.
Dan di waktu yang sama... itu juga waktu terbaik untuk berbicara dengan Allah.
Tahajud bukan sekadar ibadah malam. Tapi momen kompromi antara lelah dunia dan harapan akhirat.
Di saat otak mencari error di log sistem, hati kita justru bisa memindai error dalam hidup sendiri.
Apa yang Membuat Tahajud Relevan di Era Digital?
Karena justru di era serba cepat inilah manusia paling kesepian.
Logika API dan AI bisa kita pahami. Tapi logika kesabaran, maaf, dan pengharapan --- sering terlewat.
Tahajud adalah "waktu tanpa notifikasi".
Tempat di mana kita bisa request forgiveness tanpa rate limit.
Tempat di mana kita submit tangis tanpa gagal koneksi.
Kesalahan Umum: Kita Sibuk Menyambungkan Sistem, Tapi Putus dari Sumber Cahaya
Saya sadar: betapa seringnya saya bisa menghidupkan kembali website yang error... tapi lupa menghidupkan hati yang mati.
Tahajud mengingatkan bahwa downtime terbesar bukanlah saat server crash. Tapi saat iman kita off, dan kita tak peduli.